Jogja
Kamis, 10 Mei 2012 - 09:44 WIB

Bisnis Esek-esek Dekati Kampus

Redaksi Solopos.com  /  Harian Jogja  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - ilustrasi

ilustrasi

SLEMAN—Pesatnya perkembangan tempat hiburan di Depok, Sleman ternyata dimanfaatkan untuk bisnis esesk-esek. Sejumlah salon dan tempat pijat yang memberikan layanan plus mulai tumbuh di kawasan itu.

Advertisement

Padahal sebelumnya, sejumlah salon plus awalnya belum ada di tempat itu. Di Kabupaten Sleman pada awal 2000, sejumlah salon plus banyak bermunculan di sekitar Monumen Jogja Kembali. Setelah dirazia dan mendapatkan penolakan warga, mereka mengalihkan usahanya ke Jl Kabupaten dan Ring Road.

Saat ini kawasan Depok menjadi sasaran untuk mengembangkan bisnis esek-esek. Banyaknya mahasiswa yang indekos di kawasan itu menjadi daya tarik untuk membuka usaha.

Salah seorang pemilik salon, DC, 28 mengaku sengaja membuka usaha di tempat itu karena memiliki prospek yang bagus. DC mengaku usaha yang digelutinya saat ini salon dan tradisional massage. Tidak jarang memang ada salon ini juga melayani pria hidung belang.

Advertisement

“Kalau hanya mengandalkan salon dan tradisional massage saja omzet bergulir sampai Rp10 juta dalam satu bulan. Di sini saya mempekerjakan tiga pegawai tetap untuk memijat dan kecantikan dan dua freelance,” kata DC, Rabu (9/5).

DC mengaku meskipun harga sewa mahal namun dirinya tetap bertahan di tempat itu karena salonnya banyak pelanggan.

“Salon saya ada di dekat UPN Ringroad Utara. Karena harga sewa mahal di jalan utama, saya memilih agak ke dalam jalan kecil atau jalan kampung yang masih aspal bisa mendapatkan harga sewa yang lebih murah,” kata DC.

DC mengaku saat ini dia menyewa dengan harga Rp15 juta per tahunnya. Itu untuk ukuran rumah 50 meter persegi. Sedangkan jika menyewa di pinggir jalan utama, bisa sampai puluhan juta.

Advertisement

“Dulu pernah kami akan pindah di salah satu jalan utama dan melihat ada lokasi strategis. Namun saat bertanya, sewanya sampai Rp40 juta kami mundur saja,” tandas DC.

Berdasarkan pantauan, salon dan pijat plus di kawasan Depok tersebar di beberapa tempat. Jarak dengan kampus pun hanya dalam tidak lebih dari 300 meter. Dalam operasinya, mereka tidak hanya buka pada pagi hingga sore hari, malam hari pun mereka tetap buka.

Sewa Tempat
Di sisi lain, menjamurnya tempat hiburan di Depok membuat tarif sewa tempat untuk usaha semakin meningkat. Pintaka Yuwana, pemilik Coin Coffee yang terletak di Jalan Gejayan, menuturkan, maraknya tempat hiburan di Depok karena pengusaha sadar akan kebutuhan masyarakat setempat yang kebanyakan pendatang dan termasuk golongan ekonomi menengah atas.

“Sewa tempat di Depok semakin mahal tiap tahun,” tukasnya.

Advertisement

Saat ini, di Babarsari, sewa kios bisa mencapai Rp25 juta per tahun. Kendati demikian, laki-laki yang telah 10 tahun berkecimpung di usaha coffee shop ini, mengaku tidak sengaja memilih Depok sebagai tempat usaha. “Kebetulan saja, saat mencari tempat usaha, kebanyakan ditawari di daerah Depok,” jelasnya, kemarin.

Laki-laki yang pernah mengelola Rumah Kopi Babarsari ini mengatakan, mendirikan usaha di wilayah dengan tingkat kompetisi tinggi harus selalu fokus dan konsisten dengan usahanya.

Terkait investor tempat hiburan, ia menyebutkan sebagian besar justru orang luar daerah. “Biasanya mahasiswa atau orang yang pernah kuliah di Jogja dan melihat peluang tersebut,” imbuh dia.

Sawah Menyusut
Pesatnya pertumbuhan tempat hiburan di Depok berimbas pada menyusutnya lahan pertanian. Pasalnya, sejumlah tempat yang didirikan sebagian besar memanfaatkan lahan pertanian.

Advertisement

Kepala Bidang Pendapatan (Dispenda) Hardo Kiswaya menjelaskan Pemkab khawatir pertumbuhan pesat tempat hiburan mengancam persawahan di Depok.

“Perkembangan restoran di Seturan dan Nologaten ini sebenarnya menawarkan keindahan suasana malam lahan persawahan. Namun kami juga ketakutan, jika akhirnya lama-lama lahan persawahan malah menghilang,” kata Hardo.

Kepala Desa Caturtunggal, Depok, Sleman Agus Santoso membenarkan banyaknya tindakan alih fungsi lahan pertanian di wilayahnya. Hingga 2007 lalu, lahan pertanian di Desa Caturtunggal telah berkurang sekitar 10 hektare. Saat ini, yang tersisa sekitar 95 hektare lahan pertanian.

“Kebanyakan alih fungsi lahan pertanian di wilayah kami untuk usaha seperti warung kopi, salon dan kuliner. Dan sejak 2007 lalu, kami sudah melakukan pendataan dan berkomitmen akan mempertahankan sisa lahan pertanian yang ada,” tegas Agus.

Diungkapkan Agus, lahan pertanian yang ada di Desa Caturtunggal berada di Dusun Kledokan, Tambakbayan, Gowok, Nologaten, Mundusaren dan Seturan. Sekitar 60 hektare dari lahan pertanian yang ada merupakan tanah kas desa, sedangkan sisanya milik perorangan.

Adapun Kepala Dinas Pertanian Perikanan dan Kehutanan Kabupaten Sleman Slamet Riyadi Martoyo mengatakan yang bisa dilakukan untuk mempertahankan luas lahan pertanian dengan pembuatan sertifikasi.

Advertisement

“Namun usaha ini hanya bisa untuk wilayah perdesaan, sedangkan wilayah perkotaan hal ini belum bisa. Sebagai upaya, kami hanya bisa menerapkan pengelolaan lahan pertanian agar memiliki hasil yang bagus. Dengan hasil yang bagus tentunya pemilik akan eman-eman untuk menjual lahan pertanian mereka,” kata Riyadi.

Riyadi juga mengkhawatirkan persoalan limbah. Selama beberapa kali mengadakan tinjauan, Riyadi menuturkan selalu melihat limbah yang sebenarnya dibuang ke saluran drainase jalan inspeksi. Namun drainase itu rupanya masuk ke saluran irigasi petani di Seturan.
Camat Kalasan Samsul Bakri mengatakan pihaknya setiap hari masih harus memanen sampah dari Selokan Mataram. Hal ini terlepas dari keberadaan warung kopi di Seturan atau bukan.

“Yang jelas banyak sekali sampah yang harus kami bersihkan. Bisa dikatakan, jika dulu Selokan Mataram itu untuk irigasi pertanian, kini selokan mataram jadi selokan sampah,” kata Samsul.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif