SLEMAN—Hampir seluruh penyedia dan pengguna hotspot di DIY tak memperhatikan faktor keamanan. Data yang keluar masuk saat mengakses di dunia maya menjadi mudah dibobol.
Selama ini DIY dikenal sebagai kawasan melek teknologi informasi (TI). Namun berdasarkan riset kecil yang dilakukan tim jurusan Teknik Informatika Fakultas Teknik Universitas Islam Indonesia (FT UII) bulan lalu, terungkap faktor keamanan belum menjadi priotitas penyedia dan pengguna jasa hotspot.
Dosen Teknik Informatika FT UII, Hamid menuturkan dari 13 lokasi di DIY yang dikunjungi tim secara acak, 11 titik diantaranya memiliki tingkat keamanan yang rendah. Sementara dua diantaranya dengan keamanan sedang.
“Sebelas titik itu dapat dengan mudah kami tembus hanya dalam waktu 1-2 menit, sedang dua lagi dalam waktu satu jam,” jelasnya saat ditemui di Kampus Terpadu UII, Rabu (13/3/2013).
Tingkat keamanan yang rendah ini terjadi pada penyedia jasa hotspot gratis dan berbayar. Keamanan yang agak sulit ditembus berada pada sebuah rumah kos elit dan sebuah caffee di salah satu daerah di DIY.
Namun, tegasnya, keamanan yang agak sulit ditembus bukan karena penyedia jasa menyadari aspek ini. Melainkan karena mereka berada di kawasan elit dan melengkapi diri dengan hardware yang mahal.
Di DIY, kejahatan dunia maya baru sebatas akses data dan identitas pengguna dan penyedia jasa. Umumnya pembajak (hacker) memanfaatkan identitas ini untuk kepentingan lain atau sekadar menguji kemampuan hacking (membajak).
Di kota besar atau negara lain, akses ini dapat berupa pencurian data atau berkas rahasia sampai masalah keuangan. Baik pemanfaatan kartu kredit maupun rekening bank.
Menurut dia, akar permasalahan persoalan ini timbul lantaran Pemerintah Daerah (Pemda) belum memiliki aturan baku mengenai hotspot. Ketentuan yang ada sebatas pengajuan izin bagi penyedia jasa hotspot. Alhasil, penyedia dan pengguna layanan tidak menyadari pentingnya faktor keamanan saat berselancar di dunia maya.