Jogja
Jumat, 10 April 2015 - 16:19 WIB

Industri Kecil dan Menengah di Gunungkidul Belum Siap Hadapi MEA

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Paguyuban Batik Gendhis, Gunungkidul. (JIBI/Harian Jogja/Kusnul Isti Qomah)

Industri kecil menengah (IKM) di Gunungkidul dianggap belum siap menghadapi persaingan dalam penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA)

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL—Industri kecil menengah (IKM) di Gunungkidul dianggap belum siap menghadapi persaingan dalam penerapan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) pada Desember mendatang.
Kepala Seksi Usaha Industri Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi dan Energi Sumber Daya Mineral, Sakimin, mengungkapkan ketidaksiapan itu ditunjukkan IKM makanan olahan dari sisi pengemasan produk.

Advertisement

Selain itu, untuk IKM sektor lainnya, belum banyak yang mengurus pelabelan Standar Nasional Indonesia. Untuk sejumlah mereka bahkan juga belum didaftarkan menjadi Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI).

“Kesadaran kurang. Selain itu, pengurusannya juga lama. Ada yang sudah mengajukan sejak 2011 namun sampai sekarang tidak jelas hasilnya,” ungkap Sukimin, Kamis (9/4/2015).

Dari 20.921 perajin produk IKM, baru ada lima produk yang terdaftar HAKI sedangkan 12 lainnya masih dalam proses pengajuan HAKI.

Advertisement

Di Gunungkidul ada lima industri manufaktur yang dikelola masyarakat dan mendapatkan pembinaan dari Pemkab Gunungkidul, yakni pangan, sandang kulit, kimia bahan bangunan, logam elektronika dan kerajinan.

Staf Seksi Usaha Industri Disperindagkop ESDM Gunungkidul Kun Muryono menyebutkan sisi lain ketidaksiapan IKM. Antara lain belum sampai 5% dari total perajin yang berminat memasarkan produk secara online, daya kreasi yang minim akibat memilih untuk memproduksi sesuai pesanan, sulitnya bahan baku, minim permodalan dan masih rendahnya jiwa wirausaha.

Seorang perajin caping kerucut dari bambu di Kecamatan Ngawen, Tusimin, mengakui dibutuhkan peran pemerintah untuk membantu perajin siap menghadapi MEA.

Advertisement

Misalnya, perajin diberi kesempatan studi banding ke daerah lain untuk meningkatkan jiwa wirausaha dan kreasi kerajinan.

Dia mencontohkan pernah mengikuti pelatihan dari Disperindagkop ESDM Gunungkidul sekaligus studi banding ke Magetan, Jawa Timur. Dari pelatihan itu, Tusimin diberi pembekalan untuk membuat lebih banyak bentuk kerajinan agar tidak hanya bisa membuat caping dari bambu. “Itu yang perlu dilakukan pemerintah,” ungkapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif