Jogja
Jumat, 17 April 2015 - 12:40 WIB

PERDA GEPENG : Dituntut Dibatalkan, Setujukah?

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - (ki-ka) Sela, perwakilan Iwayo, Ahmad Syaifuddin dari Save Street Children Jogja, dan Ahmad Budi Sutrisno, komunitas anak jalanan, memaparkan alasan penolakan Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis di LBH Jogja, Kamis (16/4/2015). (JIBI/Harian Jogja/Switzy Sabandar)

Perda gepeng dituntut dibatalkan.

Harianjogja.com, JOGJA-Kaukus dari 19 komunitas di DIY menuntut Perda Nomor 1 Tahun 2014 tentang Penanganan Gelandangan dan Pengemis dibatalkan. Pasalnya, implementasi dan isi perda dinilai sarat kekerasan serta melanggar hak asasi manusia (HAM). (Baca Juga : RAZIA GEPENG : Hati-hati! Perda Memberi Uang dan Barang Diterapkan)

Advertisement

Hal itu diungkapkan Ahmad Syaifuddin dari Save Street Children Jogja dalam jumpa pers di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja, Kamis (16/4/2015). Kaukus untuk Perda Penanganan Gelandangan dan Pengemis, antara lain, terdiri dari LBH Jogja, PLU Satu Hati, Ikatan Waria Yogyakarta, Save Streets Children, PKBI DIY, Rumah Keong, IHAP, dan sebagainya.

Perda Tak Realitis
Menurut dia, salah satu pasal dalam perda, yakni pasal 1, menunjukkan upaya koersif dalam melindungi dan memberdayakan pengemis. Pasal pemidanaan, kata dia, juga dianggap tidak realistis bagi gelandangan pengemis. Didin mencontohkan, pasal pemidanaan memakai kata dan/atau yang dapat dipahami pelanggar bisa mendapat kedua hukuman, yaitu kurungan dan denda.

“Sementara denda yang harus dibayarkan juga tidak mungkin terbayarkan karena paling sedikit Rp10 juta,” terangnya.

Advertisement

Panti Rehabilitasi Tak Layak
Tidak hanya itu, ungkapnya, keberadaan camp assessment [panti rehabilitasi sosial] tidak layak ditambah dengan pelaksana perda, Satpol PP dan Dinas Sosial, tidak memadai. Fasilitas camp, urainya, tidak kayak karena tidak tersedianya ruangan yang nyaman, tidak menyediakan alat kebersihan yang layak, pemenuhan kebutuhan makan tidak layak, dan sebagainya. Sedangkan jumlah pekerja sosial atau pendamping hanya 12 orang yang masing-masing mendampingi lima sampai 20 orang.
Rencananya, kaukus akan menemui DPRD DIY untuk meminta pembatalan.

“Kemungkinan judicial review, karena sebelumnya kami sudah menemui kepala Dinas Sosial juga tidak medapat hasil,” imbuh Didin.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif