Jogja
Jumat, 4 September 2015 - 20:20 WIB

JOGJA KOTA INKLUSI : Kekurangan Tenaga Pendidik, Penerapan Kota Inklusi Tak Maksimal

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kekurangan Guru Pendamping Kelas

Jogja Kota Inklusi masih belum maksimal diterapkan, salah satunya karena kekurangan tenaga pendidik

Harianjogja.com, JOGJA-Penerapan kota inklusi di Jogja belum maksimal. Bidang pendidikan yang diklaim lebih dulu merealisasikan program inklusi justru menimbulkan stereotype sekolah inklusi di lembaga pendidikan tertentu.

Advertisement

Hal itu diungkapkan Ketua Komisi D DPRD Jogja Agung Damar Kusumandaru di sela-sela Focus Group Discussion (FGD) Kota Inklusi di Balaikota Jogja, Kamis (3/9/2015).

Menurut Agung, bidang pendidikan yang dinilai paling siap tak lepas dari persoalan, seperti minimnya jumlah guru pendamping khusus (GPK) dan persepsi sekolah tertentu sebagai sekolah inklusi.

Advertisement

Menurut Agung, bidang pendidikan yang dinilai paling siap tak lepas dari persoalan, seperti minimnya jumlah guru pendamping khusus (GPK) dan persepsi sekolah tertentu sebagai sekolah inklusi.

“Padahal seluruh sekolah di Jogja adalah sekolah inklusi dan tidak boleh menolak anak berkebutuhan khusus (ABK),” ujarnya.

Agung mencontohkan, stereotype di sekolah tertentu seperti yang terjadi di SDN Bangunrejo 2. ABK yang bersekolah di sana mencapai 30% dari total murid. Dinilainya, kondisi ini menyulitkan GPK dalam melakukan pendampingan.

Advertisement

Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan (Disdik) Jogja, Sugeng Mulyo Subono menyebutkan beberapa kendala yang dihadapi sekolah inklusi, antara lain, masih ada penolakan dari sekolah, belum semua sekolah memahami pendidikan inklusi, jumlah ABK melebihi kemampuan sekolah, kurang ada keseimbangan varian ABK dgn GPK, dan guru belum bersikap proaktif dan ramah terhadap semua anak.

“Saat ini kami sedang menyusun Peraturan Walikota (Perwal) tentang pendidikan inklusi supaya penerapannya lebih optimal,” kata Sugeng.

Sebelumnya, Kepala SDN Bangunrejo II Antonia Retna Sriningsih mengatakan sekalipun termasuk sekolah inklusi, ia hanya menerima siswa berkebutuhan khusus slow learner atau lambat belajar dan low vision. Alasannya, ketiadaan guru menjadi penyebab utama. “Kalau siswa berkebutuhan khusus membawa guru sendiri tidak masalah, kami bisa menerima,” tuturnya.

Advertisement

Menurutnya, menolak siswa berkebutuhan khusus yang mendaftar lebih bertanggungjawab ketimbang menerima tetapi akhirnya menelantarkan kebutuhan siswa karena tidak bisa memenuhi. “Misal saya menerima tetapi tidak melayani dengan baik malah jadi dosa,” ucapnya.

Retna memaparkan, jumlah siswa berkebutuhan khusus di sekolahnya mencapai 60 dari 123 anak. Sementara GPK yang disediakan pemerintah hanya satu orang dan itu pun hanya datang seminggu dua kali karena berfungsi sebagai konsultan.

Untuk pendampingan siswa berkebutuhan khusus, kata dia, sekolah memanfaatkan tiga orang mahasiswa yang melakukan penelitian di tempatnya yang diberi honor Rp250.000 per bulan.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif