Jogja
Jumat, 2 Oktober 2015 - 17:20 WIB

PENAMBANGAN ILEGAL : Lewat Batas Tenggang Izin, Penambang di Sungai Progo Nekat Beroperasi

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Aktivitas penambang pasir di Sungai Progo, tepatnya di kawasan Lendah, Kulonprogo. Foto diambil dari Desa Trimurti, Srandakan, Bantul, Selasa (11/8/2015) siang. (Harian Jogja-Arief Junianto)

Penambangan ilegal di Sungai Progo telah melewati batas tenggang izin, namun penambang tetap nekat beroperasi

Harianjogja.com, BANTUL-Kendati kesempatan waktu 40 hari yang diberikan oleh pemerintah DIY kepada para penambang pasir Sungai Progo untuk melakukan penambangannya telah habis, namun para penambang itu masih tetap melanjutkan operasinya.

Advertisement

Memang, sejak pertengahan Agustus lalu, ketika para penambang dari Kelompok Paguyuban Penambang Progo (KPP) melayangkan surat kepada Gubernur DIY, pihak pemerintah DIY lantas memberikan kesempatan kepada mereka untuk tetap menambang, terhitung selama 40 hari.

Akan tetapi, hingga kini, para penambang itu tetap saja melanjutkan praktek penambangannya, kendati pihak pemerintah DIY belum menerbitkan izin apapun terkait usaha penambangan yang mereka lakukan.

Advertisement

Akan tetapi, hingga kini, para penambang itu tetap saja melanjutkan praktek penambangannya, kendati pihak pemerintah DIY belum menerbitkan izin apapun terkait usaha penambangan yang mereka lakukan.

Sekretaris Kelompok Paguyuban Penambang Progo (KPP) Junianto mengakui, hingga kini setidaknya ada lebih dari 40 petitik penambangan di sepanjang Sungai Progo yang masih beroperasi.

Dikatakannya, 40 titik tersebut semuanya berada di sisi timur sungai mulai Desa Poncosari (Srandakan) di selatan hingga Kecamatan Sedayu di utara. Itu artinya memang semua titik itu berada di wilayah kabupaten Bantul.

Advertisement

Terlebih sebentar lagi, DIY akan menghadapi megaproyek pembangunan bandara. Ia khawatir jika tak terus menambang, keberadaan pasir itu akan menipis. “Kalau sudah begitu, pemerintah akan membeli pasir dari penambang-penambang bermodal besar yang  menambang dengan alat-alat berat itu. Kami [warga] hanya jadi penonton akhirnya,” keluhnya.

Itulah sebabnya, ia berharap pemerintah memberikan kesempatan warga untuk memperpanjang Izin Penambangan Rakyat (IPR) yang kini sebenarnya sudah tak berlaku lagi menyusul regulasi pemerintah pusat yang mengharuskan adanya Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Diakuinya, warga jelas tak sanggup jika harus mengantongi IUP. Persyaratan yang mustahil dipenuhi warga, menurut Junianto menjadi alasan hanya beberapa warga saja yang mengajukan permohonan IUP tersebut kepada pemerintah DIY.

Advertisement

Sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, segala bentuk izin pertambangan memang ada di kewenangan pemerintah provinsi. Begitu juga dengan IUP. Beberapa persyaratan yang menurut Junianto mustahil dipenuhi warga adalah mengenai luasan dan ketenagakerjaan.

Beberapa syarat yang tercantum dalam IUP itu di antaranya adalah luasan wilayah pertambangan yang setidaknya mencapai 5 hektare dan tenaga kerja yang pendidikan minimalnya adalah setara strata satu. Selain biaya mengurusnya yang setidaknya mencapai lebih dari Rp15 juta dirasanya jelas memberatkan. “Kami ini penambang rakyat. Bukan investor,” tegasnya.

Selama ini, ia mengaku pihak penambangan sudah ada yang mengajukan izin kepada pemerintah DIY. Akan tetapi, sampai sekarang memang tak ada satu pun izin turun dari pemerintah. Diakui Junianto, hingga kini baru ada dua kelompok yang mendapatkan izin dari pemerintah. “Itupun pengajuan sudah mereka lakukan sejak setahun yang lalu,” tegasnya.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif