Jogja
Rabu, 27 Juli 2011 - 08:21 WIB

Kisah Adisti, penderita lupus

Redaksi Solopos.com  /  Budi Cahyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pada 1998, Anugrah Adisti, merupakan mahasiswi baru di Jurusan Pertanian Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jogja. Sebagai mahasiswa baru, Adisti mengikuti berjibun kegiatan. Saat itu, Adisti sesekali merasa sendinya nyeri, dan  terserang demam berkepanjangan. “Kalau beraktivitas gampang capek, kena sinar matahari juga capek,” kenang Adisti, 30, ketika berbincang dengan Harian Jogja di Maguwoharjo, Sleman, Kamis (21/7).

Dia mulai curiga, karena beberapa waktu sebelumnya, Upik, kakak sepupu Adisti mengalami gejala serupa. Upik divonis menderita sakit lupus atau Systemic Lupus Erythematous (SLE). Enam bulan setelah vonis dokter, Upik meninggal.

Advertisement

Adisti kaget dan bertanya, jangan-jangan dia juga kena lupus. Dia memeriksakan diri ke dokter. Namun saat itu Adisti hanya diberitahu sakit rematik. Merasa belum puas, enam bulan kemudian Adisti pergi ke dokter lagi.
Baru pada 1999, saat Adisti kembali datang ke rumah sakit untuk cek darah, hasilnya positif.

“Hasil laboratorium keluar positif. Dokter bilang, iya ibu, anak ibu kena lupus. Anak ibu harus minum obat, kalau enggak mati,” kenang Adisti. Dia tersentak dan kaget bukan main. Perasaannya campur aduk kala itu. Dalam bayangannya lupus adalah penyakit menyeramkan.

Advertisement

“Hasil laboratorium keluar positif. Dokter bilang, iya ibu, anak ibu kena lupus. Anak ibu harus minum obat, kalau enggak mati,” kenang Adisti. Dia tersentak dan kaget bukan main. Perasaannya campur aduk kala itu. Dalam bayangannya lupus adalah penyakit menyeramkan.

Maklum, dulu penyebaran informasi seputar lupus masih terbatas. “Perasaan saya enggak karu-karuan karena punya pengalaman buruk [sepupunya],” kata Adisti. Dia menyebutnya, seperti kiamat.

Karena vonis lupus itu Adisti mulai merasa hidupnya tak berguna. Sikap Adisti di kampus mulai berubah.
Lambat laun Adisti menutup diri. Fisik Adisti ikut berubah. Helai demi helai rambutnya copot dan rontok. Tidak sampai gundul memang, namun kulit kepalanya terlihat. Salah satu organ vital tubuhnya, ginjal, mengalami kebocoran. Kakinya sempat bengkak.

Advertisement

“Mungkin faktor genetik karena di keluarga besar [kakak sepupu] saya ada yang menderita lupus,” kata Adisti

Pipi tembem
Sejak 1999, Adisti mulai mengkonsumsi obat. Dalam sehari dia mengaku minum lima jenis obat atau sekitar 20 tablet. Efek obat itu, seperti yang dialami penderita lupus lainnya, mengakibatkan badan kurus dan pipi tembem. “Kayak ikan teri pakai helm deh,” ujar Adisti.

Suatu ketika, secara tidak sengaja Adisti membaca koran tentang seminar lupus di Jakarta. Adisti kemudian mencari dokter hematologi di Rumah Sakit Kramat 128, Jakarta. Ia bertemu Tiara Savitri, seorang dokter yang perhatian terhadap penyakit lupus.

Advertisement

Adisti yang sempat terpuruk itu mendapat suntikan semangat. Apalagi sejak dia ke Yayasan Lupus Indonesia. “Saya melihat penderita lupus lain yang kondisinya jauh lebih parah tapi masih bertahan,” kata Adisti.

Dokter di Jakarta mendukung Adisti bisa melewati masa-masa sulit ini. “Kamu bisa dan semangat, lupus bukan akhir dari segalanya, bukan tunggu ‘kereta’ untuk menjemput,” kenang Adisti atas tuturan dokternya.

Adisti bangkit. Cara pandangnya berubah. Dengan atau tanpa penyakit lupus, pikir Adisti, toh manusia kelak akan ‘berpulang’. Dia mulai terbuka. Adisti membuka rahasia penyakitnya itu kepada seorang teman di kampus.

Advertisement

Selama delapan tahun (sampai 2007) Adisti tak berhenti minum obat-obatan untuk meredam penyakitnya. Dosis obatnya menurun dari tahun ke tahun. Pengobatan itu ada hasilnya. Adisti mengalami remisi (bebas gejala).

Sekarang Adisti telah berhenti mengkonsumsi obat dan dapat beraktivitas sebagai ibu rumah tangga yang kerap mengantar putranya ke taman kanak-kanak. “Alhamdulillah,” ucapnya, tersenyum.

Saat ini Adisti tidak sendiri karena berkat Facebook, dia banyak bertemu penderita lupus asal Jawa Tengah dan Jogja.

Berawal dari Facebook kemudian terbentuk komunitas yang saat ini berjumlah 73 orang. Komunitas itu bernama Omah Kupu Jogja, karena kupu-kupu merupakan simbol untuk menggambarkan salah satu tanda yang dimiliki penderita lupus yakni butterfly rash atau bercak merah di wajah.(Wartawan Harian Jogja/Yodie Hardiyan)

Foto: Adisti dan dua puteranya

HARJO CETAK

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif