Jogja
Jumat, 23 April 2021 - 19:31 WIB

100 Hari PPKM, 9 Kapanewon di Sleman Masuk Zona Merah

Harian Jogja  /  Abdul Hamid Razak  /  Arif Fajar Setiadi  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Ilustrasi mutasi virus corona (Freepik)

Solopos.com, SLEMAN- Penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di Sleman berlangsung sejak 11 Januari. Hingga selesainya PPKM tahap ketujuh pada 19 April, sampai saat ini sebanyak 9 kapanewon masuk zona merah.

Pada peta epidemologi Covid-19 per 13 April lalu, jumlah kapanewon dengan status zona merah sejatinya sudah turun dari sebelumnya 13 kapanewon menjadi 6 kapanewon saja. Namun demikian, masih tingginya penularan kasus baru Covid-19 dalam sepekan terakhir jumlah kapanewon yang masuk zona merah kembali naik menjadi 9 kapanewon.

Advertisement

Berdasarkan peta epidemologi Covid-19 per 20 April, 9 Kapanewon yang masuk zona merah masing-masing Kapanewon Gamping, Minggir. Depok, Prambanan, Kalasan dan Ngemplak. Selain itu, Kapanewon Sleman, Tempel dan Cangkringan juga termasuk zona merah.

Baca juga: Setahun, 587 Jenazah di Sleman Dimakamkan Dengan Prosedur Covid-19

Advertisement

Baca juga: Setahun, 587 Jenazah di Sleman Dimakamkan Dengan Prosedur Covid-19

Sama halnya dengan peta epidemologi sebelumnya, sampai saat ini belum ada satupun kapanewon yang masuk zona kuning apalagi zona hijau. Sebab delapan kapanewon, masing-masing Godean, Moyudan, Seyegan. Mlati, Berbah, Ngaglik, Turi dan Pakem, masuk zona oranye.

Kepala Dinas Kesehatan Sleman Joko Hastaryo menjelaskan jika peta epidemologi Covid-19 dinamis. Dan tergantung dari munculnya kasus baru di masing-masing kapanewon. Kapanewon Ngaglik yang sebelumnya masuk zona merah saat ini menjadi zona oranye. Begitu juga sebaliknya ada kapanewon yang sebelumnya zona oranye masuk zona merah.

Advertisement

PPKM Mikro

Dinkes, lanjut Joko, terus mendorong masyarakat untuk disiplin menerapkan protokol kesehatan sesuai Perbup No.37.1/2020. Juga Instruksi Bupati Sleman No.10/2021 tentang Perpanjangan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat berbasis Mikro.

“Jangan lupa meskipun sudah pakai masker dan cuci tangan, kalau berkerumun risiko tertular tetap sangat tinggi. Kasus di Sleman dan DIY masih tinggi, penularan masih terjadi, artinya masih banyak orang mengidap virus Corona tapi asimtomatik alias OTG,” kata Joko.

Baca juga: Vaksin Two in One di Jogja Batal Terlaksana

Advertisement

Ahli Epidemiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM Riris Andono Ahmad mengatakan peningkatan kasus Covid-19 akan tetap terjadi. Meskipun ada mudik maupun tidak mudik. Peluang penyebaran virus sangat besar ketika tidak ada pembatasan. Atau larangan mobilitas dalam populasi sementara transmisi virus semakin meluas.

Larangan mudik lebaran untuk menekan penyebaran Covid-19 tahun ini, kata Riris sejatinya efektif jika dilakukan sejak awal pandemi. Sebab, saat ini tarnsmisi telah terjadi di hampir seluruh kota besar Indonesia. “Jadi mau mudik atau tidak mudik pasti akan terjadi peningkatan kasus karena sudah ada transmisi, banyak peningkatan kasus,” tuturnya, Jum’at (23/4/2021).

Riris berharap kebijakan larangan mudik lebaran bisa dibarengi dengan pembatasan mobilitas masyarakat. Pasalnya, mobilitas masyarakat cenderung tinggi saat lebaran. Misalnya, masyarakat memanfaatkan momen lebaran untuk ajang silaturahim atau halal bihalal. Selain itu selama libur lebaran banyak yang melakukan wisata dan aktivitas lainnya yang menimbulkan kerumunan.

Advertisement

“Bukan berarti mudik tidak mudik tidak ada efeknya. Ada efeknya, tetapi mudik dilarangpun kalau mobilitas tidak dilarang maka peningkatan kasus itu jadi sebuah keniscayaan,” ujarnya.

Pengetatan Mobilitas

Baca juga: Pemkot Jogja Gelar PTM SD dan SMP Awal Mei

Direktur Pusat Kajian Kedokteran Tropis UGM ini pun meminta pemerintah untuk tegas dan konsisten dalam menegakkan peraturan. Masyarakat pun diminta untuk sadar mengurangi mobilitas agar penyebaran Covid-19 tidak semakin meluas. Jika hal tersebut diabaikan dikhawatirkan akan terjadi transmisi Covid-19 dalam populasi secara cepat.

Pemerintah, lanjut Riris, perlu melakukan adaptasi kebiasaan baru dalam menghadapi Covid-19 dengan memberlakukan pengetatan dan pelonggaran mobilitas masyarakat. Adaptasi tersebut layaknya mengendari kendaraan dimana saat jalanan padat maka menginjak rem untuk mengurangi kecepatan, begitupun sebaliknya.

“Demikian juga dalam mencegah penularan Covid-19. Agar tidak semakin meluas, saat terjadi penularan sebaiknya lakukan pembatasan/pengetatan mobilitas.
Kuncinya pemerintah harus tahu kapan mengetatkan, kapan melonggarkan dan pembatasan yang harus dilakukan,” terangnya.

 

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif