SOLOPOS.COM - Ahmad Djauhar

Angkringan Harian Jogja ditulis oleh Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja

Sudah sepeminuman teh Dadap duduk menyendiri di bangku pendek angkringan Pakdhe Harjo yang malam Ahad kali itu terbilang sepi, kendati sebagian besar warga sudah terima gajian. Biasanya, di malam-malam setelah gajian, angkringan tersebut kelihatan regeng. Namun, akhir-akhir ini suasananya tampak berbeda. Hampir sepanjang pekan, bangku angkringan tersebut jarang terisi penuh.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Dengan daya nalarnya, Dadap mencoba menganalisis kenapa orang-orang kok cenderung enggan cangkrukan di angkringan belakangan ini.sebagai media bersosialisasi, pikir Dadap, angkringan tetap dianggapnya sebagai wadah paling ideal untuk bertukar ide dan pemikian ala wong cilik, termasuk di dalamnya kaum tepelajar yang berduit relatif cekak.

Hal yang paling mungkin untuk mencegah orang-orang berkunjung ke angkringan, gumam Dadap, karena sarana sosial ini sekarang jauh kalah populer dibandingkan dengan berbagai aplikasi pada smartphone yang memungkinkan penggunanya dapat jagongan dan berbagi obrolan secara canggih, termasuk berbagai berita terkini, cerita sedih maupun lucu, materi keagamaan hingga gambar jorok, dan semuanya disertai format audio maupun video.

Obrolan pun menjadi lebih kaya dan bervariasi, tidak kaku seperti zaman dulu. Kalaupun mereka ingin ngobrol sambil ditemani kudapan maupun minuman hangat atau dingin, semuanya bisa dilakukan sendiri secara murah meriah di rumah sambil leyeh-leyeh. Murah karena dengan uang seadanya cukup untuk beli kopi instan dan kacang. Beda kalau di angkringan, harus merogoh uang lebih dari itu.

Kalau bukan seperti itu, analisa Dadap lagi, mungkin dikarenakan pengarus ekonomi nasional yang beum kunjung membaik. “Malahan, harga bahan pangan saja kok ya makin mahal. Jika harga daging sapi saja meroket jadi Rp140.000 per kilo, harga daging lainnya pasti ikut terbang. Lha bangsanya makanan yang bahannya dari tubuh binatang apapun kan jadi ikut mahal semuanya, termasuk ceker ayam mungkin.”

Bisa jadi pula, tutur Dadap sambil masih mencoba menganalisis, fenomena merosotnya pengunjung angkringan favoritnya ini Cuma gejala musiman yang tidak ada kaitannya dengan semua itu.

“Ya.. yang namanya berbisnis, tentu kadang ramai, kadang sepi. Itu juga kondisi yang sangat biasa terjadi,” ujarnya dengan gaya seperti yang biasa dipaparkan kedua sobatnya, Suto dan Noyo, yang juga tidak kunjung datang di angkringan itu.

Rupanya, Dadap belum merasa puas dengan berbagai analisis yang berkecamuk di benaknya tersebut. Soalnya, ia bergumam, pelajar dan mahasiswa yang berkecukupan kini cangkrukan-nya sudah bergeser ke kafe, berbagai warung makan cepat saji dari negeri seberang itu, atau bahkan restoran mewah.

Beda dengan pelajar dan mahasiswa sepantarannya—dari era 1980-an dan 1990-an—yang umumnya masih tampil sangat sederhana, karena orang tua mereka juga dari kalangan berpenghasilan pas-pasan. Kepekaan mereka terhadap berbagai persoalan yang berkembang di lingkungan masyarakat kecil pun terasah jadinya.

“Apakah mereka nanti masih memiliki sensitivitas yang tinggi untuk ikut memikirkan kelompok marginal seperti halnya pelajar atau mahasiswa dari masa pra-reformasi ya.. Lha mereka itu saba-nya saja di tempat-tempat yang tidak atau jarang dikunjungi rakyat jelata je..” ujar Dadap dalam batin.

Sekejap kemudian, Dadap merasa agak masygul memikirkan betapa sikap anak-anak muda dan kelompok bocah sekarang ini yang cenderung lebih tertarik pada aneka budaya pop, terutama yang berasal dari Amerika Serikat, yang antara kain diwarnai dengan begitu banyak restoran makanan cepat saji itu, dan lokasi mereka kini semakin menyerbu hingga perkampungan, bukan cuma di perkotaan.

“Lha restoran gudeg maupun ayam goreng lokal kini kok kelihatan makin sepi pembeli, padahal warung ayam goreng dari seberang begitu larisnya. Ini sudah benar-benar invasi budaya.. Apa anak-anak sekarang ini sudah kuwalik ilate [terbailk lidahnya] ya,” kata Dadap lirih.

Kondisinya pun, lanjut Dadap, tidak reciprocal alias tidak timbal balik, karena hingga kini pun restoran ayam goreng lokal macam Mbok Berek ataupun Suharti belum ada satu pun yang melenggang di negeri Abang Sam (AS) itu. Ini kan sebenarnya tidak adil. Kok pemerintah itu ya mau-maunya ngasih izin bagi banya warung waralaba dari luar negeri itu.

“Mereka mudah saja mengembangkan jaringan di sini karena mungkin segalanya dianggap masih murah. Harusnya ya tidak semudah itu ya..” ucap Dadap setengah ngunandika.

Bagi Dadap, perubahan dunia yang semakin cepat akibat dorongan teknologi informasi itulah yang menjadi biang keladi selama ini, sehingga hegemoni Barat—terutama AS—di seluruh dunia kini semakin nyata. Bangsa lain seakan-akan harus menerima kenyataan dan menerima begitu saja.

“Oh.. jadi Internet itu dia yang mbikin semua negara kini semakin kecolongan, karena masyarakatnya semakin tergantung pada segala hal yang berbau Amerika. Tidak hanya itu. Aneka mesin pendukung teknologi informasi mereka seperti Google, Yahoo, Youtube, dan banyak lagi kini menjelma sebagai penyedot kue iklan dari banyak negara..” tutur Dadap seorang diri.

Mungkin saja lho, pikir Dadap, semua itu memang sudah dirancang sedemikian rupa, sehingga pelan tapi pasti mereka itu, dengan mesin teknologi informasinya yang sangat maju, sebenarnya berniat menguasai dunia. “Wah embuh lah..” ujar Dadap agak berseru seorang diri. “Asem tenan ki..”

(Ditulis oleh Ahmad Djauhar, Ketua Dewan Redaksi Harian Jogja)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya