Jogja
Senin, 19 Januari 2015 - 01:20 WIB

BAND INDIE JOGJA : Pengamat Kagumi Musisi Lokal

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - JIBI/Harian Jogja/Kurniyanto Shaggy Dog

Band indie Jogja yang dikenal memiliki karakter kuat dinilai plus oleh sejumlah pengamat musik.

Harianjogja.com JOGJA-Pengamat musik rock asal Jogja, Krisna Baskoro menuturkan Death Vomit merupakan band pionir musik metal di Jogja. Berawal dari komunitas dan sekadar hobi, kini mereka menunjukkan eksistensinya.

Advertisement

“Meski sebenarnya mereka pun menjalani musik ini adalah karena hobi. Cuma bedanya, hobi ini mereka seriusi,” papar Krisna, Jumat (16/1/2015).

Tak hanya itu, Krisna juga menuturkan dalam album ketiganya ini, Death Vomit terlihat lebih mature. Musik yang mereka bawakan tak lagi hanya brutal, tapi juga ada teknik dan kepekaan intuisi sosial mereka.

Advertisement

Tak hanya itu, Krisna juga menuturkan dalam album ketiganya ini, Death Vomit terlihat lebih mature. Musik yang mereka bawakan tak lagi hanya brutal, tapi juga ada teknik dan kepekaan intuisi sosial mereka.

“Hebatnya lagi, mereka berhasil menggandeng gitaris Solstice. Menurut saya, Death Vomit ini adalah band lokal Jogja yang seharusnya sudah mendunia,” ucap Krisna.

Terpisah pengamat musik Bens Leo mengaku kagum dengan spirit para pelaku musik indie di Jogja. Tak hanya itu, keguyuban antara satu musisi dengan musisi lain di Jogja patut diacungi jempol.

Advertisement

Diakuinya, militansi musisi Jogja sangat besar. Tak jarang, beberapa grup band yang hendak membuat video, cukup dengan meminjam studio dengan cara patungan. Bagi mereka yang terpenting karya bisa selesai terlebih dulu.

“Contohnya adalah teman-temen dari Sheila on 7, Erros Candra, karena mereka sudah memiliki home studio sendiri, studio rumah diberikan peluang musisi indie untuk rekaman. Saya kira keguyuban itu yang luar biasa di Jogja,” akunya.

Tak hanya itu, menurut Bens, yang tidak kalah penting adalah heterogenitas Jogja yang mengakibatkan begitu berwarnanya musik Jogja. Dengan begitu, baik indie maupun major label, jika itu berada di Jogja, ia merasa nyaris tak ada bedanya. Terlebih dengan terpuruknya industri musik belakangan ini, banyak musisi major label lebih memilih untuk keluar dari label yang pernah membesarkan nama mereka.

Advertisement

Dicontohkannya, Gigi yang keluar dari Sony, kemudian para penyanyi itu keluar dari perusahaan besar karena mereka punya masalah dengan tidak diapresiasinya karya-karya mereka dalam bentuk promosi yang bagus padahal itu perusahaan rekaman internasional.

“Inilah yang menyebabkan kami prihatin,” tegasnya.

Sementara terkait dengan sisi komersial, ia berpendapat musik yang sukses itu musik yang punya karakter. Jadi, jika musik sudah tak punya karakter, dirinya menilai sebagai sebuah karya, musik itu sudah bisa dibilang gagal. Untuk di Jogja, ia mencontohkan Endang Soekamti. Dengan genre yang sejatinya punk, namun dengan karakter yang khas, mereka pun akhirnya mampu ‘dijual’. ‘

Advertisement

“Ibaratnya, mereka sekarang ini minimal bertarif Rp25 juta sekali manggung. Jadi yang penting itu ciptakan karya yang berkarakter, barulah bicara soal distribusi,” ucapnya.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif