SOLOPOS.COM - Ilustrasi/dok

Ilustrasi/dok

Sesekali pergilah ke Bandara Adisutjipto, saksikan rutinitas yang sibuk. Dalam sehari setidaknya ada 53 penerbangan komersial dibuka. Bila dikalikan dua, berarti ada 106 pesawat yang mendarat dan mengudara di satu landas pacu.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Bila ditambah dengan penerbangan militer, pasti frekuensinya lebih banyak, belum lagi dengan aktivitas sekolah penerbang yang beroperasi dalam kompleks bandara. Karena merupakan landasan udara militer, Adisutjipto punya berbagai keterbatasan.

Padahal, jika melihat perkembangan industri penerbangan yang begitu pesat, Jogja telah menjadi magnet bagi para maskapai komersial. Garuda Indonesia misalnya, dalam sehari menerbangi Jogja-Jakarta hingga sepuluh kali dengan rerata tingkat keterisian penumpang di atas 80%.

Rute-rute baru terus dibuka, salah satunya adalah Mandala Airlines yang dengan sangat berani membuka penerbangan langsung Jogja-Pekanbaru, mengikuti sukses sejumlah maskapai lain yang terbang ke Balikpapan, Denpasar, Surabaya, Bandung, Pangkalanbun, Banjarmasin, hingga Singapura dan Kuala Lumpur.

Dengan begitu banyak rute yang dibuka, menunjukkan Jogja memang menarik secara komersial. Mobilitas yang begitu tinggi ini tak lepas dari posisi sebagai kawasan pendidikan maupun wisata.

Hanya saja, pertumbuhan pasar penerbangan yang begitu cepat ini tak diimbangi oleh tersedianya sarana yang memadai. Bandara Adisutjipto telah begitu padat, dan pembangunan bandara baru menjadi keniscayaan sekaligus butuh kecepatan. Coba bandingkan dengan Solo, yang telah memiliki fasilitas bandara jauh lebih memadai kendati belum memiliki trafik seramai jogja.

Sudah menjadi rahasia umum, jika trafik udara Jogja itu begitu padat, dan sering ditemui pesawat yang hendak mendarat harus antre dan terpaksa berputar-putar menunggu giliran. Ini jelas tidak efisien bagi maskapai, maupun dari sisi waktu tempuh yang makin panjang.
Kondisi objektif ini sebenarnya telah disadari oleh para pemangku kepentingan, sehingga disiapkan rencana membangun bandara baru yang lebih representatif.  Hanya saja, masalah terus saja muncul, saat waktu terus bergulir.

Mendorong agar bandara baru dibangun cepat tersebut butuh cara-cara yang cepat pula. Setelah izin prinsip pemindahan Bandara Adisutjipto keluar maka langkah selanjutnya adalah memastikan PT Angkasa Pura I, selaku operator, bertindak cepat.

Angkasa Pura I bisa mulai pembangunan jika lahan telah tersedia. Ini menjadi prasyarat dan isu besar pada setiap proyek infrastruktur di Tanah Air. Orang pada mahfum, bila sudah begini, spekulan tanah muncul bak cendawan di musim hujan, memanfaatkan kesempatan di tengah pembebasan tanah yang butuh cepat.

Dalam hal ini, pemerintah memang tak boleh menyerah. Perlu sebuah ketegasan dalam penentuan harga, sekaligus edukasi yang cukup bagi para pemilik tanah atas manfaat yang akan muncul jika bandara baru berdiri.

Perlu juga sebuah pendekatan yang lebih baik kepada warga, termasuk sebuah solusi yang sama-sama menguntungkan. Para pemilik tanah juga tak boleh jual mahal, demikian juga dengan panitia pengadaan lahan juga harus menawarkan harga yang pantas.

Kita tak punya banyak waktu lagi untuk berdebat, semua harus bertindak cepat, dilandasi oleh kesadaran kepentingan DIY yang lebih besar. Cukup sudah kisah lama pembangunan bandara di daerah lain yang memerlukan waktu belasan tahun untuk beroperasi.

DIY tak bisa menunggu. Bandara Adisutjipto yang telah kelebihan kapasitas harus segera diselamatkan dengan berdirinya sebuah bandara baru. Kenapa harus menanti jika kita bisa lebih cepat?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya