Jogja
Rabu, 30 Agustus 2017 - 05:22 WIB

BANDARA KULONPROGO : Rawan Alami Tsunami & Gempa Bumi, Pemerintah Didesak Buat Kajian Resiko Bencana

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Kepala Pusat Seismologi BMKG, Jaya Murjaya menyampaikan materi dalam workshop Potensi Bahaya Gempa Bumi & Tsunami di Bandara Kulonprogo (NYIA) dan Metode Mitigasinya di gedung University Club (UC) UGM, Yogyakarta, Selasa (29/08/2017). Workshop ini memaparkan ancaman bahaya dan solusi mitigasi terhadap bencana gempa bumi dan tsunami atas pembangunan bandara di kecamatan Temon tersebut.(Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Bandara Kulonprogo rawan alami tsunami dan gempa bumi sehingga memerlukan analisis risiko bencana

Harianjogja.com, SLEMAN — Potensi bencana tsunami dan gempa bumi di area pembangunan bandara New Yogyakarta Internasional Airport (NYIA) Kulonprogo bukan sekadar isu tetapi berdasarkan fakta ilmiah. Oleh karenanya, proyek tersebut lebih membutuhkan analisis risiko bencana dibandingkan analisis dampak lingkungan.

Advertisement

Sayangnya, kata Kepala Pusat Penelitian Geo Tsunami Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Eko Yulianto, hingga kini pemerintah belum menyiapkan analisis risiko secara detail sebagai bagian dari mitigasi bencana di sekitar lokasi proyek. Diapun mendesak agar pemerintah segera melakukan kajian analisis reskio bencana pembangunan bandara tersebut.

Menurutnya, kawasan selatan Jawa, terutama DIY memiliki jenis dan tekstur tanah berbeda dengan daerah lain. Kawasan daratan di DIY terbuat dari endapan sungai yang berhulu di Merapi.

“Dalam kajian kami, daratan di sini lebih mudah menghantarkan getaran gempa bumi yang dahsyat sehingga menimbulkan dampak besar,” jelas Eko di sela-sela workshop Dukungan Infrastruktur yang Handal untuk Proyek Strategis Nasional ‘Potensi  Bahaya  Gempa  Bumi & Tsunami  di  Bandara Kulonprogo dan Metode  Mitigasinya’, di UC UGM, Selasa (29/8/2017).

Advertisement

Peneliti Paleotsunami itu memberi perbandingan ketika terjadi gempa bumi di Bantul pada 2006 dengan gempa di Bengkulu pada 2007 lalu. Meski gempa Bantul hanya skala 5,6 richter, tetapi mampu merobohkan ratusan ribu bangunan, melukai puluhan ribu warga dan menewaskan 6.000 orang. Padahal, gempa di Bengkulu skalanya lebih besar yakni 8,7 richter tetapi menewaskan hanya 3 orang. Jadi, kerugian besar ekonomi lebih besar dialami DIY dibandingkan Bengkulu.

Dia menambahkan, kawasan pantai selatan Jawa dalam sejarahnya juga pernah dilanda gempa bumi tsunami yang bersumber dari zona subduksi, yaitu patahan pertemuan tiga lempeng besar Lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik. Kondisi tersebut harus menjadi perhatian pemerintah. Sebab, paska-tsunami Aceh 2004 silam, muncul hipotesis baru, sepanjang pesisir yang berhadapan dengan zona Megathurst Sunda berpotensi gempa bumi besar. Tidak hanya gempa tetapi juga potensi tsunami di kawasan pantai Selatan.

Advertisement
Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif