SOLOPOS.COM - Suasana pasar hewan Imogiri, Bantul, Senin (25/7/2016). Harga hewan ternak di Pasar Hewan Bantul seperti sapi dan kambing sudah mulai mengalami kenaikan menjelang Iduladha. (Yudho Priambodo/JIBI/Harian Jogja)

Tak hanya daging sapi glonggongan dan tak layak konsumsi saja yang menyerbu pasar Bantul, sapi hidup yang belum jelas kualitas kesehatannya pun kini tengah gencar masuk

Harianjogja.com, BANTUL--Tak hanya daging sapi glonggongan dan tak layak konsumsi saja yang menyerbu pasar Bantul, sapi hidup yang belum jelas kualitas kesehatannya pun kini tengah gencar masuk ke wilayah Bantul.

Promosi 204,8 Juta Suara Diperebutkan, Jawa adalah Kunci

Dari pantauan Harianjogja.com di pasar ternak terbesar di Bantul, yakni Pasar Hewan Imogiri, hampir seluruh sapi dari luar Bantul ternyata tak dilengkapi dokumen resmi berupa Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH).

Padahal, menurut regulasi yang berlaku, setiap mutasi hewan ternak harus disertai dokumen terebut.

Kepala Bidang Peternakan Dinas Pertanian, Pangan, Kelautan dan Perikanan Bantul Agus Rohmat membenarkan hal tersebut. Ia tak menampik bahwa sebagian besar mutasi hewan ternak yang masuk ke Bantul memang jarang yang dilengkapi dokumen tersebut.

Akibatnya, pihak Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Bantul pun harus melakukan pengecekan ulang kesehatan ternak-ternak tersebut saat berada di Pasar Hewan.

Padahal, dengan tenaga veteriner Bantul yang 34 orang ditambah 17 tenaga paramedis, jelas kelimpungan jika harus melakukan pengecekan semua ternak, terutama sapi yang ada di pasar.

“Ya seharusnya, ternak-ternak itu disertai dokumen SKKH. Dengan begitu, kesehatannya terjamin,” katanya saat ditemui wartawan seusai melakukan pemeriksaan medis hewan ternak di Pasar Imogiri, Kamis (26/1/2017) lalu.

Dengan sempat beredarnya isu penyakit antraks beberapa hari lalu, pihaknya memang tengah memperketat pengawasan kesehatan ternak, terutama di rumah-rumah pemotongan hewan (RPH) yang ada di Bantul. “Sebenarnya sih tak hanya antraks saja, kami fokus juga ke semua penyakit menular ternak,” imbuh Agus.

Diakuinya, kendala yang dialami Pemkab Bantul selama ini adalah lokasi Kabupaten Bantul yang tidak mendapatkan keharusan dibangunnya Pos Lalu Lintas Ternak (PLLT).

Pasalnya, sesuai dengan Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 1969, PLLT hanya didirikan di daerah-daerah yang berbatas dengan provinsi lain saja.

“Karena itulah, di Bantul tidak ada PLLT. Itulah yang membuat kami kesulitan dalam melakukan kontrol. Meski begitu, kami terus berupaya dengan sumber daya yang kami miliki agar sapi yang masuk ke Bantul semuanya dalam kondisi sehat,” katanya.

Terpisah, Sunarto, pedagang sapi asal Paliyan, Gunungkidul mengaku, sejak awal dirinya menjual sapi-sapinya ke Bantul, tak pernah sekali pun ia menyertainya dengan SKKH. Bahkan, ketika ditanya mengenai dokumen itu, ia justru baru mengetahui kalau ada keharusan kelengkapan dokumen semacam itu.

Meski begitu, ia membantah jika ada yang meragukan kesehatan ternaknya. Pasalnya, selama ini petugas kesehatan dari Pemkab Gunungkidul secara rutin melakukan pemeriksaan medis terhadap ternak-ternaknya. “Memang, ternak yang saya jual di Bantul ini bukan ternak peliharaan saya sendiri, melainkan memang ternak dagangan saya. Tapi saya yakin semuanya sehat kok,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya