SOLOPOS.COM - Para santri Ponpes Nailul Ula bermain bola api (JIBI/Harian Jogja/dok)

Para santri Ponpes Nailul Ula bermain bola api (JIBI/Harian Jogja/dok)

Santri Pondok Pesantren Nailul Ula di Ploso Kuning, Ngaglik, Sleman dalam mengisi kejenuhan di sela-sela Ramadan cukup unik. Mereka menggelar sepak bola api.

Promosi Gonta Ganti Pelatih Timnas Bukan Solusi, PSSI!

Untuk mengisi waktu senggang selepas tarawih, santri di Ponpes Nailul Ula menggelar olahraga malam. Bola berbahan cumplung (batok kelapa utuh) yang telah direndam minyak tanah seharian kemudian dibakar saat pertandingan menjadikan olahraga malam itu unik.

Kaki peserta sepak bola harus beradu langsung dengan ‘bola’ yang terbakar namun tak ada raut kesakitan. Bahkan para atlet yang bertanding dengan menggenakan sarung itu tertawa riang.

Salah seorang peserta sepak bola api Ihsanul Huda menuturkan jika kegiatannya rutin diadakan dan nyaris tanpa ada yang terluka. Sebab masing-masing sudah berpengalaman dalam bermain sepak bola api.

“Ini untuk refreshing saja. Tiap tahun kami melakukannya di Bulan Ramadan dan tidak pernah ada yang terluka,” kata Huda di halaman salah satu sekolah dasar di Ploso Kuning, beberapa waktu lalu.

Huda mengaku para ustaz dan santri memainkan bola api seperti bola pada umumnya. Untuk peraturan malah lebih mirip dengan futsal. Ciri permainan sepak bola api yakni banyak mengoper bola dibanding menggiring.

Jika ada yang berniat menggiring bola terlalu lama pasti keluar teriakan “panas” dari pemain itu. Namun panas itu buka berarti mereka keluar lapangan namun hanya istirahat dari menggiring bola sebentar dan melanjutkan permainan dengan mengoper bola ke teman yang lain.

Kata-kata “panas” juga terdengar jika ada dua atau tiga pemain sedang asyik berebut cumplung api tersebut. Maklum, panasnya bara api itu dirasakan para pemain karena mereka tidak memakai alas kaki meskipun ada juga yang mengenakan sandal jepit.

Dalam permainan ini, pemain juga tidak mengenakan pelindung atau baju tahan api. Mereka justru memakai sarung dan baju koko. “Permainan ini tak ada muatan mistis. Soal panas, ya memang panas. Tapi dijamin aman. Siapa saja boleh mencoba. Kalau di sini semakin panas, semakin asyik, dan semakin terasa persaudaraan para pemain,” lanjut Huda.

Permainan bola api ini biasanya diadakan seusai Salat Tarawih, sekitar pukul 20.30 WIB hingga hampir tengah malam. Sebab di waktu itulah para mahasiswa yang menimba ilmu agama di pondok pesantren memiliki waktu senggang.

Permainan ini seolah mengalir terus, bahkan hingga cumplung itu padam. Jika padam, cumplung diganti dengan yang baru. Karena biasanya sebelum bermain, mereka menyiapkan lebih dari satu cumplung.

Permainan ini dilakukan tanpa penerangan lampu kecil di pinggir-pinggir lapangan. Sumber penerangan di tengah lapangan hanya kobaran api cumplung. “Dulu pernah kami mencoba berikan penerangan tapi rupanya malah kurang gereget karena api cumplung tidak kelihatan. Lebih asyik jika tanpa lampu,” kata Huda.

Pemain lain, Muhammad Yasmin menuturkan jika permainan ini memang tidak berbahaya. Dia memberikan sedikit trik dalam bermain sepak bola api ini, yakni menggunakan telapak kaki untuk menggiring maupun mengoper bola.

“Telapak kaki paling tebal jadi bisa tahan dari panas bara. Kalau telalu lama memang agak panas rasanya tapi dijamin masih aman” tuturnya.

Yasmin menguraikan ada satu peraturan penting dalam permainan sepak bola api ini, yakni jangan mencoba-coba melakukan sundulan atau heading bola. “Bolanya keras dan panas, jadi jangan disundul,” katanya sembari tertawa diamini kawan-kawan lainnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya