SOLOPOS.COM - Budidaya lele dengan sistem terpal di shelter lereng Merapi (HARIAN JOGJA/AKHIRUL ANWAR)

Budidaya lele dengan sistem terpal di shelter lereng Merapi (HARIAN JOGJA/AKHIRUL ANWAR)

SLEMAN—Minat warga lereng Merapi membudidayakan lele lahan kering sistem terpal (lelaki sintal) semakin berkurang. Pasalnya budidaya lele dengan cara ini sulit menuju titik impas (Break Even Point).

Promosi Ongen Saknosiwi dan Tibo Monabesa, Dua Emas yang Telat Berkilau

Salah satu warga penerima bantuan, Wafirudin menjelaskan, selama ini hanya ada bantuan bibit lele namun tidak ada bantuan pakan lele yakni pelet. Padahal menurut dia, biaya terbesar adalah pakan lele. “Kalau bibit, pakai lokalan saja gampang dibeli, tapi kalau pelet ini harus yang bagus makanya banyak yang rugi,” katanya saat ditemui Harian Jogja, Selasa (21/2).

Warga Bakalan Argomulyo, Cangkringan ini mengatakan, semula ada sembilan kolam di dusunnya. Namun kini hanya tinggal empat yang masih aktif. Lainnya rusak karena terpal keropos dan mulai ditinggalkan karena hasilnya tidak bisa seperti hitungan teori saat awal pemberian bantuan.

Wafirudin menjelaskan, jika saat ini satu kolam berisi 3.000 lele hanya laku dijual Rp700.000. Padahal biaya pakannya sudah menghabiskan Rp850.000 untuk tiga bulan pemeliharaan. Alhasil petani lele ini rugi Rp150.000. Belum lagi biaya operasional dan benih lele.

Serbuan lele dari luar daerah juga menjadi kendala penjualan. Jika lele dari shelter lereng Merapi dihargai Rp8.500 per kilogram, lele konsumsi dari daerah lain seperti Jawa Timur jauh lebih murah yakni sekitar Rp7.000 per kilogram.(Harian Jogja/Akhirul Anwar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya