SOLOPOS.COM - Salah satu bus kota di Kota Jogja (dok)

Harian Jogja.com, JOGJA-Kondisi bus kota di Jogja, baik Kopata, Aspada, Puskopkar, Damri maupun Kobutri, makin memprihatinkan. Padahal, sarana transportasi umum nan murah ini masih banyak diminati masyarakat, sekaligus bisa mengurangi kepadatan lalu lintas.

Salah satu pengguna setia bus kota di Jogja, Ridari Neni, mengaku selalu menggunakan moda transportasi umum ini sejak duduk di bangku SMP. Sekalipun sekarang telah bekerja dengan mobilitas yang cukup tinggi, Neni, panggilan akrabnya masih tak bisa lepas dari bus kota. Alasannya sederhana. Neni gemeteran jika harus mengendarai kendaraan sendiri.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

“Pernah latihan mobil juga, tapi deg- degan,” kata perempuan berusia 49 tahun itu kepada Harian Jogja.com, beberapa waktu lalu.

Sejak 1977 hingga saat ini, Neni mengaku masih setia menggunakan moda angkutan umum murah ini. “Waktu itu, sekali naik cuma sekitar Rp100,” ujarnya.

Lain dulu lain sekarang, begitu kata Neni. Bus kota dulu masih mudah didapat dan selalu dipenuhi penumpang. Tapi sekarang, bus kota mulai jarang. Sekalipun ramai orang, beberapa di antaranya adalah copet.

Saking seringnya naik bus kota, Neni pun hapal dengan gerak- gerik copet. Pernah suatu hari ketika akan pulang menuju rumahnya di Sidoarum, Sleman, Neni menumpang bus kota jalur 15. Saat berada di dalam bus, Neni merasa ada yang merogoh dompetnya. Kontan, Neni membalikan tubuhnya dan sang copet langsung membuang dompetnya.

Pernah pula lantaran ada copet di dalam bus, Neni batal menaiki bus. Tapi ia tetap tak dapat menghindari satu bus dengan copet meski telah berpindah ke bus lainnya. “Tahu- tahu copet itu turun dari bus yang tadinya mau saya naiki dan berpindah ke bus yang akhirnya saya naiki,”ujarnya.

Neni sangat mengeluhkan kondisi bus kota yang seolah tak pernah ada perbaikan. Karena kesal tak ada perubahan transportasi, Neni pun nekat mengadu langsung kepada Kepala Dinas Perhubungan DIY, Tjipto Haribowo.

Kepala Dinas Perhubungan pun hanya bisa memberi jawaban jika pihaknya baru berusaha menciptakan transportasi umum yang nyaman, salah satunya Trans Jogja.  “Baru kami konsep bus- bus kota dengan Trans Jogja. Rencananya, akan ada feeder [bus penghubung] di daerah perbatasan untuk sampai kota,” kata Neni mengulang jawaban Tjipto Haribowo.

“Sayang. Padahal, banyak orang tua yang melarang anaknya naik kendaraan sendiri ketika masih SMA dengan naik bus. Tapi, kalau bus sudah jarang seperti ini mau bagaiamana,” tuturnya.

Tak hanya soal jumlah bus yang semakin berkurang. Kondisi fisik bus kota yang ada saat ini pun sudah tidak layak lagi. Hal itu juga dirasakan Danang Firmanto, mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta.

Sudah hampir dua tahun ini, Danang pulang pergi ke kampus menggunakan bus dari rumahnya di Bantul. Dari rumahnya itu, ia biasa menggunakan bus ukuran kecil dan kemudian melanjutkan perjalanan dengan menggunakan bus jalur dua dari perbatasan kota di daerah Ring Road Selatan.

Kejadian buruk dialaminya sepulangnya dari kampus. Belum lama masuk ke dalam bus, hujan turun. Tak disangka, atap bus bocor, sehingga air hujan membasahi bajunya.

Alhasil, Danang yang lebih memilih naik bus untuk menghindari hujan, justru basah kuyub kehujanan. “Tahu gitu mending naik motor,” ujarnya. Kendati begitu, ia tak dapat mengelak dari naik bus yang sebenarnya memiliki kenyamanan tersendiri. “Bisa sambil baca- baca ketika mau ujian,” katanya.

Lantas mau seperti apa nasib bus kota di kota pelajar ini?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya