Bus Trans Jogja dengan biaya operasional Rp83 miliar dinilai terlalu besar
Harianjogja.com, JOGJA – Biaya operasional kendaraan Trans Jogja sebesar Rp83 miliar dinilai terlalu besar. Oleh karena itu DPRD DIY meminta kepada operator untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Anggota Pansus Pengawasan Pengelolaan Sistem Layanan Angkutan DPRD DIY Huda Tri Yudiana mengatakan, subsidi untuk biaya operasional kendaraan Trans Jogja dinilai terlalu besar. Angka Rp83 miliar seharusnya bisa dikurangi.
Alasannya, kata dia, berdasarkan laporan dari PT Anindya Mitra Internasional (AMI) selaku operator, tingkat keterisian kendaraan atau load factor mencapai 20% setiap armada.
Bahkan Dinas Perhubungan DIY menyampaikan keterisian itu bisa mencapai 40%. “Sehingga BOK [biaya operasional kendaraan] sekian itu [Rp83 miliar] terlalu besar,” terangnya akhir pekan lalu.
Besaran itu tak sebanding dengan pelayanan yang diberikan Trans Jogja. Politisi PKS ini juga mempertanyakan perbedaan jumlah keterisian penumpang antara yang disampaikan PT AMI dan Dishub DIY. Jika PT AMI menyampaikan keterisian armada hanya 20% namun selama ini sudah bisa beroperasi.
Apalagi, jika jumlah penumpang itu bisa mencapai 40% seperti yang disampaikan Dishub DIY. Oleh karena itu layanan harus ditingkatkan. “Karena biaya operasional ini seharusnya bisa dikurangi,” ungkapnya.
Saat dimintai konfirmasi, Direktur PT AMI Dyah Puspitasari mengaku wajar dengan adanya perbedaan jumlah load factor antara PT AMI dengan Dinas Perhubungan. Dyah tidak menampik, sebagai badan usaha pihaknya dalam merencanakan tidak boleh terlalu optimis.
Sehingga angka yang digunakan sebesar 20% itu merupakan angka pesimis. “Kalau kita yang namanya usaha itu di perencanaan tidak boleh terlalu optimis. Jadi memang hitungannya pesimis,” ujarnya.
Selain itu, kata dia, dimungkinkan ada perbedaan cara menghitung. Pihaknya menghitung tingkat jumlah penumpang dalam suatu armada termasuk mempertimbangkan jenis penumpang yang terkoneksi dari satu halte ke halte lain dengan hanya membeli satu tiket.
Sehingga angka yang ia dapat hanya 20%. Berbeda dengan Dinas Perhubungan yang menghitung secara keseluruhan jumlah penumpang.
“Kalau kami gampangnya begini, orang naik sekali bayar ketika pindah ke halte lain bisa saja dia turun tapi tetap di halte itu lalu ganti jalur. Nah seperti itu, Dishub hitung load factor-nya tambah, tetapi kalau duitnya kan enggak. Kalau kami ngitung duitnya,” kata dia.