SOLOPOS.COM - Pemulung masih tetap bertahan di TPA Piyungan meski tidak ada lagi kiriman sampah, Senin (24/7/2023). Mereka memanfaatkan sisa-sisa sampah sebelumnya. - Harian Jogja - Ujang Hasanudin

Solopos.com, BANTUL — Para pemulung yang biasanya memilah sampah di TPST Piyungan atau TPA Piyungan mengeluh. Mereka tidak bisa bekerja selama TPA Piyungan ditutup oleh pemerintah selama 45 hari atau satu setengah bulan.

Para pemulung di TPA Piyungan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, ini kebingungan karena tidak ada sampah untuk dipilah. Beberapa pemulung tetap bertahan dengan menyisir sampah-sampah yang masih bisa dijual. Sedangkan sejumlah pemulung lainnya lebih memilih pulang kampung.

Promosi Tragedi Bintaro 1987, Musibah Memilukan yang Memicu Proyek Rel Ganda 2 Dekade

Mengenakan sweter dan topi, Kusnadi memilah-milah sampah yang masih bisa dijual di atas tumpukan sampah di kawasan TPST Piyungan, Senin (24/7/2023) siang. Sesekali ia menyeka peluh yang menetes di pipi.

Sudah dua hari ini tidak ada truk-truk yang membuang sampah di lokasi tersebut. Dua alat berat masih memindah dan memadatkan sampah. Kusnadi tetap bertahan dengan mencari sisa-sisa tumpukan sampah yang dibuang beberapa waktu lalu.

Satu demi satu sampah yang bisa dijual ia masukkan ke dalam karung. Siang itu dia mengumpulkan sampah hampir dua karung kecil.

Meski hasilnya tidak banyak dari sebelum-sebelumnya, ia bertahan karena hanya dari pekerjaan itu ia menghidupi istri dan ketiga anaknya.

Pria 39 tahun tersebut sudah sekitar 15 tahun mengais rezeki dari tumpukan sampah di TPA Piyungan. Lulusan SMP ini awalnya menjadi pelayan rumah makan dan berjualan kerang di Pantai Baron, Gunungkidul. Namun karena hasilnya tidak memuaskan, warga Kalurahan Kemadang, Kapanewon Tanjungsari, Gunungkidul itu akhirnya mencari peruntungan di TPA Piyungan. Sejak 15 tahun lalu sampai sekarang Kusnadi masih tetap bertahan.

Ia mengumpulkan  kertas, botol bekas minuman, kaleng, aluminium, besi, tembaga, dan kardus. Dalam sehari ia biasanya mendapat penghasilan Rp60.000-Rp70.000. Jika ia beruntung, Rp100.000 bisa dikantongi. Dua hari ini pendapatannya menurun drastis.

“Enggak ada yang buang sampah jadi cuma sedikit dapatnya yang bisa dijual. Paling laku sekitar Rp20.000-Rp30.000-an,” katanya.

Sebagian pemulung banyak yang menganggur, bahkan ada yang memilih pulang kampung karena sampah yang bisa dipilih dan dimanfaatkan terbatas.

Wardi, 50, juga tetap bertahan memulung sampah yang bisa diolah. Ia bersama istrinya sudah 15 tahun memulung di TPA Piyungan dan menjual sampah ke pengepul. “Saya belum ada gambaran lain untuk bekerja. Ya tetap bertahan. Ya masih dapat untuk makan sehari Rp20.000,” ujarnya.

Ratusan Pemulung Terdampak

Sumarno, salah satu pengepul sampah mengatakan ada 50 pemulung yang tiap hari menyetor sampah kepadanya. Sejak dua hari lalu, para pemulung berkurang.

“Sekarang yang setor sampah paling hanya 20 orang, yang lainnya pada pulang kampung karena banyak yang dari luar daerah, ” katanya.

Dalam sehari, sampah yang terkumpul dari pemulung bisa 2 ton hingga 6 ton. Rongsokan tersebut kemudian ia jual kembali untuk didaur ulang dia Surabaya, Solo, Cirebon, dan Jakarta.

Ketua Pemulung “Mardiko” TPST Piyungan, Maryono, mengatakan hampir semua pemulung di lokasi pembuangan sampah tersebut mengeluh dengan ditutupnya TPA Piyungan. Sebab kiriman sampah dari Bantul, Sleman, dan Jogja, selama ini menjadi sumber penghasilan.

Ia menyampaikan jumlah pemulung di TPA Piyungan ada 400 orang. Mereka dari berbagai daerah seperti DIY, Magelang, Boyolali, Bangka, Jakarta, Purwodadi, dan Flores.

Sebagian besar pemulung tidak ada aktivitas selama dua hari terakhir atau setelah tutupnya TPA Piyungan. Banyak yang pulang kampung sampai dibukanya kembali TPA Piyungan. Saat ini yang masih bertahan rata-rata adalah warga DIY seperti dari Bantul dan Gunungkidul.

“Pendapatan menurun. Hanya dapat uang untuk makan sehari, tidak bisa lagi untuk kiriman keluarga,” kata dia.

Maryono mengatakan pemulung ikut andil dalam pengurangan sampah. Ia menyebut ada 15 pengepul di TPA Piyungan. Masing-masing pengepul per hari jika dirata-rata dapat 6 ton, sehingga per pekan bisa mengumpulkan sampah sampai 90 ton.

Maryono memahami ditutupnya TPA Piyungan karena sudah tidak mampu lagi menampung sampah sejak beberapa tahun lalu, tetapi tetap dipaksakan. Lahan tambahan sekitar dua hektare di sisi utara juga sudah penuh.

Dalam catatan Harian Jogja (Solopos Media Group), TPA Piyungan yang beroperasi sejak 1995 tersebut sebenarnya sudah overload atau penuh sejak 2012 lalu. Kemudian, lahan tambahan dibuka. Awalnya luasan TPA Piyungan 12,5 hektare, kemudian diperluas lagi seluas 1,5 hektare.

Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) DIY, Kuncoro Cahyo Aji, sebelumnya mengatakan sampah yang dibuang ke TPA Piyungan dalam sehari bisa mencapai 850 ton. Jika tidak dibatasi dari hulu, sampah akan menimbulkan persoalan, terlebih saat ini belum ada teknologi pengolah sampah di TPA Piyungan.

Berita ini telah tayang di Harianjogja.com dengan judul TPA Piyungan Ditutup, Pemulung Kebingungan, Sebagian Pulang Kampung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya