Jogja
Selasa, 14 Juni 2011 - 09:22 WIB

Dari tambang pasir liar, Krido raih Kalpataru

Redaksi Solopos.com  /  Budi Cahyono  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Pita merah putih masih melilit piala Kalpataru di atas meja ruangan Camat Berbah Krido Suprayitno. Tidak jauh dari meja itu, terpampang piagam penghargaan Menteri Lingkungan Hidup kategori pembina lingkungan.

Sudah lima hari piala itu berada di meja tamu ruangan berukuran 5 x 5 meter sejak diterima Krido pada Senin (6/6) lalu. Kalpataru adalah suatu kebanggaan dan tanggung jawab kepedulian lingkungan yang tidak mudah digenggam setiap warga negara Indonesia.

Advertisement

Seorang kawan Krido yang datang ke ruangan langsung memberi selamat atas keberhasilan meraih penghargaan dari Presiden itu. “Ini hasil perjuangan teman-teman semua,” kata Krido kepada temannya sambil tersenyum seraya mengangkat piala seberat lima kilogram itu, Senin (13/6).

Piagam dan penghargaan itu diperoleh Krido dengan perjalanan yang tidak gampang. Bermula saat ia ditugaskan menjadi Camat Turi 2004 silam.

Advertisement

Piagam dan penghargaan itu diperoleh Krido dengan perjalanan yang tidak gampang. Bermula saat ia ditugaskan menjadi Camat Turi 2004 silam.

Di Turi, lahan pekarangan milik warga dikeruk, dicari pasirnya. Puluhan hektare lahan bahkan ratusan ha lahan rusak tidak bisa ditanami. Padahal lahan di Desa Girikerto dan Wonokerto Kecamatan Turi adalah penyangga alam. Prihatin dengan hal itu, dia lantas berupaya menghentikan aktivitas warga penambang.

Upaya penyadaran dengan bertemu warga dilakukan. Puluhan kali ia berembug dengan warga untuk mencari akar permasalahan.

Advertisement

Dengan penjelasan mengenai dampak kerusakan lingkungan masyarakat sadar. Dari situ mulailah warga lalu sepakat tidak menambang pasir liar. Warga yang ngotot menambang, akan mendapat sanksi sosial dengan diasingkan dari pergaulan. Paling fatal, jika meninggal atau punya hajat tidak akan ada yang membantu.

Kesepakatan yang ditandatangani pejabat kecamatan dan tokoh masyarakat itu berlaku sampai sekarang. Tanah yang semula rusak direklamasi untuk pertanian salak. Ada juga yang dijadikan lahan ternak  kambing Peranakan Etawa (PE) yang sampai sekarang masih berjalan menghasilkan Rp140 juta per tahun per kelompok. Lalu muncullah desa wisata seperti Sumber Arum, Gadung, dan Kelor.

“Saya tidak punya pamrih peroleh penghargaan, hanya komitmen dan konsistensi,” kata Krido yang lahir di Purworejo 47 tahun silam.

Advertisement

Tidak hanya di Turi, ide dan gagasan Krido yang peduli lingkungan kembali dicoba saat dipindah tugaskan menjadi Camat Berbah Agustus 2006. Saat itu Berbah baru saja dilanda gempa bumi yang cukup parah.

Ia menggagas rehabilitasi dan rekonstruksi pascagempa di bidang lingkungan hidup. Rumah yang hancur segera dibangun kembali agar tidak muncul bermacam penyakit seperti bakteri E Coli, Demam Berdarah atau yang lain.

Berbah Gumregah
Setelah rumah berdiri, sisa bangunan yang hancur dibangun kolam permanen untuk membudidayakan lele. Dia memakai semboyan Berbah Gumregah untuk menyemangati warga agar bangkit kembali.

Advertisement

Potensi lokal pertanian, perikanan dan peternakan dioptimalkan. Perikanan rumah tangga yang dimulai dari Dusun Cangaan Kalitirto Berbah dilanjutkan di wilayah lain.

Ternyata, rintisan perikanan itu cepat memperoleh pendapatan, paling lama tiga bulan sudah panen.  Hingga kemudian, Dusun Cangaan ditasbihkan masyarakat luar sebagai dusun sentra perikanan rumah tangga. Sekarang pun, Berbah malah dikenal sebagai Berbah Minapolitan. Berbagai kluster mulai dari ikan air deras, sampai udang galah bisa ditemukan.

Ratusan bahkan ribuan kolam tersebar di Kecamatan Berbah. Dari program yang dilakukan pascagempa dan digagas Krido itu, kini masyarakat Berbah menikmati hasil kerja kerasnya.(Wartawan Harian Jogja/Akhirul Anwar)

HARJO CETAK

Advertisement
Kata Kunci :
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif