SOLOPOS.COM - Petugas gabungan TNI. Polri, Perhutani, BPBD, dan warga berjibaku untuk memadamkan api yang membakar hutan di kawasan Cemorosewu, Magetan, Jatim, Senin (26/10/2015). (Sunaryo Haryo Bayu/JIBI/Solopos)

Deklarasi Jogja ini dinyatakan sejumlah tokoh dari berbagai elemen.

Harianjogja.com, SLEMAN- Sejumlah akademisi, budayawan, pemangku adat, dan lembaga swadaya masyarakat membentuk “Gerakan Rakyat Peduli Gambut” melalui Deklarasi Jogja yang dibacakan di Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Rabu (16/12/2015).

Promosi Kanker Bukan (Selalu) Lonceng Kematian

Sebelum pembacaan Deklarasi Jogja sejumlah akademisi yang terlibat di antaranya perwakilan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Universitas Indonesia (UI), UGM dan Institut Pertanian Bogor (IPB), budayawan dan sejumlah LSM menggelar Forum Group Discussion (FGD) di gedung pusat UGM.

“Untuk memenuhi harapan bangsa, mengantisipasi kehancuran peradaban dan masa depan bersama, kami bertekad memulai “Gerakan Rakyat Peduli Gambut” dengan semangat gotong royong yang sesuai dengan keluhuran budaya bangsa,” kata Rektor UGM Dwikorita karnawati dalam naskah “Deklarasi Jogja” yang ia bacakan seperti dikutip dari Antara.

Menurut Dwikorita saat ini sudah saatnya negara hadir secara nyata dalam memelopori pengembangan ekonomi yang mengedepankan etika sosial dan lingkungan.

Kerusakan ekosistem gambut yang telah menghancurkan modal sosial dan lingkungan, menurut dia, merupakan pelajaran penting sebagai pijakan awal untuk memulai era baru pengelolaan sumber daya alam (SDA).

Melalui gerakan itu, ia menyatakan akan menggalang dukungan para pihak untuk memastikan terselenggaranya pengelolaan lahan gambut yang beretika demi kemakmuran rakyat dan kelestarian lingkungan.

“Kami menggalang partisipasi seluruh elemen bangsa secara kolektif, sinergis dan berkelanjutan sebagai wujud tanggung jawab bersama semua pemangku kepentingan bangsa,” katanya.

Direktur Eksekutif LSM Kehutanan Java Learning Center, Heri Santoso mengatakan persoalan mendasar terjadinya eksploitasi yang mengakibatkan terbakarnya lahan gambut adalah masih adanya cara pandang yang menempatkan SDA hanya sebagai komoditas.

“Di sisi lain terjadi ketegangan akibat ketimpangan sosial yang muncul karena penguasaan lahan oleh sektor privat,” kata dia.

Sehingga melalui gerakan itu, menurut dia, akan menjadi sarana untuk mendorong pemulihan ekonomi lokal serta mengintervensi pengelolaan lahan gambut di lapangan dengan melakukan penataan tata air di kawasan lahan tersebut. “Momentum ini harus segera ditindaklanjuti sebab kalau tidak kita akan kembali mengalami kebakaran hutan mulai Februari dan akanterus membesar pada Agustus tahun depan,” kata dia.

Budayawan Radar Panca Dahana berharap gerakan tersebut bukan hanya sebagai wahana untuk mencari solusi persoalan perekonomian yang ditimbulkan dari kebakaran gambut. Gerakan itu, kata dia, diharapkan dapat memberikan solusi komprehensif dalam rangka menjaga kelestarian alam yang merupakan warisan nenek moyang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya