SOLOPOS.COM - CARI PASIR—Seorang pria nekat menambang pasir meski arus di Kali Opak pada Minggu (4/3), cukup deras. (JIBI/HARIAN JOGJA/DINDA LEO LISTY)

Dinda Leo Listy/JIBI/Harian Jogja

CARI PASIR—Seorang pria nekat menambang pasir meski arus di Kali Opak pada Minggu (4/3), cukup deras. (JIBI/HARIAN JOGJA/DINDA LEO LISTY)

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Terlihat menggigil setelah sekitar satu jam berendam di Kali Opak, Jumadi, 45, warga Dusun Karet, Pleret tetap sigap memindahkan pasir dari rakitnya yang ditambatkan ke tepian. “Kalau tidak cepat, nanti keburu hujan. Sayang kalau pasir ini hanyut lagi terbawa banjir,” kata salah satu penambang pasir di bawah jembatan gantung Karet, Minggu (4/2) siang.

Di sela kesibukannya, ayah empat anak itu menuturkan, penghasilannya sebagai penambang tradisional terus merosot sejak erupsi Merapi 2010 lalu. Pasalnya, truk langganannya langsung beralih ke wilayah Sleman lantaran kualitas pasirnya dinilai lebih bagus. “Lagipula, di Merapi sana nambangnya pakai alat berat (backhoe). Kami masih pakai ember dan sekop,” ujar dia.

Namun, Jumadi dan 11 penambang lain yang juga dari Dusun Karet memilih tetap setia menambang di Kali Opak yang membelah dusunnya. Sebelum erupsi Merapi, Jumadi mengenangkan, selalu ada truk yang datang untuk membeli pasir hasil tambang mereka tiap hari.

Setelah tidak ada lagi truk yang membutuhkan pasir dari Dusun Karet, kini para pembeli yang menggunakan mobil pikap jadi satu-satunya harapan hidup mereka. Tiap hari, rata-rata ada dua sampai tiga mobil pikap yang masih bersedia menampung hasil jerih payah para penambang itu. Pasir dari penambang Dusun Karet dihargai Rp40.000 tiap satu bak mobil pikap.

“Itupun tidak mesti setiap hari laku. Karena penambangnya banyak, sedangkan mobil pikap yang datang sedikit. Jadi harus giliran,” imbuh Supriyadi, 55, salah satu penambang yang sudah belasan tahun menekuni profesinya.

Disinggung soal larangan dari pemerintah agar tidak menambang di sekitar bangunan jembatan, Supriyadi mengaku sudah paham akan hal itu.

“Kami asli warga sini. Mana mungkin akan merusak kekayaan kami sendiri,” tandas dia. Sebelumnya, Kepala Dinas Sumber Daya Air (SDA) Bantul, Yulianto mengatakan aktivitas pertambangan di kali tidak hanya membawa dampak kerusakan pada lokasi sekitar pertambangan. “Hingga berkilo-kilometer sesudah lokasi itu juga rusak,” ungkap dia, akhir pekan lalu.

Meski demikian, Yulianto berujar, tidak mudah untuk menghentikan aktivitas para penambang tradisional agar tidak membawa dampak kerusakan alam. Sebab, para penambang tetap beraktivitas demi mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

“Kami tidak bisa represif, hanya bisa mengimbau agar para penambang jangan beroperasi di sekitar bangunan vital. Karena dampaknya bisa menggerus pondasi bangunan itu,” pungkas dia. (ali)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya