SOLOPOS.COM - Kamti tergolek lemah di tempat tidur/JIBI/Harian Jogja/Arif Wahyu

Kamti tergolek lemah di tempat tidur/JIBI/Harian Jogja/Arif Wahyu

Kasus rumah sakit menolak pasien pengguna Jaminan Sosial Masyarakat (Jamkesmas) dengan dalih penuh terjadi di Jogja. Kamti Musliyatun, 34, warga Galur, Kulonprogo penderita kanker usus terkatung-katung dan ditolak saat akan berobat di RSUP Dr. Sardjito. Berikut kisah yang ditulis Wartawan Harian Jogja, Arif Wahyudi.

Promosi Tragedi Kartini dan Perjuangan Emansipasi Perempuan di Indonesia

Kamti Musliyatun, hanya bisa tergolek lemas di ranjang kamarnya saat Harian Jogja mendatangi rumahnya yang berada di Dusun Blimbing, Desa Brosot, Galur, Senin (4/3).
Tubuhnya terasa lemas bila dipaksakan untuk beranjak.

Sudah dua kali dalam 11 hari ini dia mendatangi ke RSUP Dr. Sardjito untuk mendapatkan penanganan intensif penyembuhan sakit parah yang dideritanya.

“Saat itu dia masih bisa saya paksakan jalan, tapi tiga hari ini dipakai untuk bangun saja pasti muntah,” ujar Pujiyatun, 54, ibu Kamti mengisahkan penderitaan anaknya.

Kala itu karena masih bisa jalan, si ibu membawa putri sulungnya itu dengan menumpang bus umum. Sayang, ketika sampai di rumah sakit, ibu dan anak ini langsung menerima kenyataan pahit. Petugas pendaftaran di Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Dr. Sardjito menolak.

Alasannya, bangsal bagi pemegang kartu Jamkesmas sudah penuh. Petugas kemudian menyuruhnya untuk datang empat hari kemudian. “Katanya begitu, mungkin kalau empat hari lagi sudah ada pasien yang pulang,” tandasnya lirih.

Empat hari berselang, Puji dan Kamti kembali datang ke rumah sakit. Kondisi Kamti saat itu semakin lemah namun tetap bisa jalan. Kedatangannya yang kedua ini pun tak membuahkan hasil. Janji petugas IGD agar penderita dibawa lagi ternyata cuma bualan. Tanpa rasa kemanusiaan petugas rumah sakit berpelat merah itu kembali mengatakan bangsal masih penuh.

Kebingungan pun kontan saja semakin menyelimuti Puji. Perempuan yang kesehariannya bekerja sebagai penjahit ini merasa dipermainkan rumah sakit. Sementara perjuangan untuk mengupayakan penyembuhan bagi Kamti begitu menggebunya.

“Kami kemarin sampai lapor ke Pak Bupati. Harapannya ada kemudahan agar anak saya ini bisa segera mendapatkan pelayanan medis di rumah sakit. Anak saya ini sudah parah. Kalau ke rumah sakit swasta, saya jelas tidak mampu,” paparnya.

Menurut Puji, sudah setahun ini putrinya mengidap kanker usus. Pengobatan yang dilakukan serbelumnya belum menunjukkan hasil mengembirakan, padahal sudah menghabiskan dana Rp30 juta lebih.

Selama ini, Kamti mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Panembahan Senopati, Bantul. Namun belakangan, tim medis dari rumah sakit itu sudah angkat tangan terhadap penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Kamti juga sempat dibawa ke RSUD Wates, namun rumah sakit ini pun mengungkapkan hal yang sama. Alasannya

rumah sakit itu belum memiliki fasilitas yang memadai untuk menangani pernyakit kanker. “Oleh dokter saya disarankan untuk membawa anak saya ke RSUP Dr. Sardjito karena di sana fasilitasnya lengkap,” tambahnya.

Selepas ada rujukan itu, Puji langsung membawa Kamti ke poliklinik di rumah sakit itu. Kala itu hanya perawatan dengan obat jalan saja. Ironisnya, meski menggunakan kartu Jamkesmas, rumah sakit tetap memberikan beban sampai Rp850.000 untuk satu kali kemoterapi.

“Dokternya juga kaget ketika tahu kalau saya dipungut biaya sampai sebegitu besarnya. Masak pasien Jamkesmas masih dibebani biaya sampai segitu,” paparnya.

Kini Puji hanya bisa berharap manajemen rumah sakit memiliki hati nurani terhadap kepedihan dan penderitaan yang menimpa putrinya. Harapan terbesarnya tiada lain mengupayakan pengobatan terbaik bagi si sulung.

Selama ini Kamti begitu banyak mendapatkan cobaan. Sakit yang dia derita muncul setelah pulang dari tanah perantauan di Kalimantan. Dua tahun lalu Kamti memutuskan untuk menyusul suaminya yang lebih dulu merantau. Sama dengan ibunya, Kamti mengembangkan keahliannya dalam menjahit ketika berada di tanah rantau.

Tapi ternyata nasib berkata lain. Bukan hasil gemilang yang dia dapatkan ketika di perantauan, baru empat bulan dia justru sakit-sakitan hingga saat ini. Akhirnya dia kembali ke kampung halaman setelah hampir setahun meninggalkan Galur.

Ironisnya, suaminya kini justru tidak bertanggung jawab. Berkali-kali keluarga mencoba menghubunginya via telepon, tidak pernah direspons. Belakangan malah nomor handphonnya sudah tidak aktif lagi.

Terpisah, Kepala Humas RSUP Dr Sardjito, Trisno Heru Nugroho mengatakan tidak ada alasan bagi rumah sakit pemerintah untuk menolak pasien. “Tidak mungkin kami menolak. Kalau dikatakan bangsal kami penuh, kami akan tetap carikan,” jelasnya.

Pihak Humas juga sudah memberikan sosialisasi kepada seluruh warga rumah sakit, jika pasien dengan Jamkesmas juga dibebaskan dari biaya. Untuk itu, ia merasa kasus Kamti yang diharuskan membayar Rp850.000 di Poliklinik rumah sakit itu tidak seharusnya terjadi.

“Sekarang begini saja, pasien yang merasa ditolak atau diminta membayar, silakan menemui saya di kantor. Kami akan membantu memproses,” pupusnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya