SOLOPOS.COM - Ilustrasi alat musik (JIBI/Harian Jogja/Reuters)

Ilustrasi alat musik (JIBI/Harian Jogja/Reuters)

Harianjogja.com, JOGJA – Sekolah musik yang menjamur selama ini memiliki kencendrungan mengajarkan bagaimana bermain musik secara benar kepada siswanya terlebih untuk menjadi seorang musisi mumpuni.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Namun hal berbeda dilakukan oleh sekolah musik alam (Sulam). Sekolah yang beralamatkan di Siliran Lor No 29, Panembahan, Kraton ini justru lebih memprioritaskan pelajaran hakekat musik dan membebaskan siswa untuk bermusik sesuai dengan imajinasi masing-masing.

“Kami ingin siswa bisa menciptakan nada sendiri tanpa terpaku not balok yang notabene berasal dari luar negeri,” kata Feri Ludianto, salah satu pendiri Sulam kepada Harian Jogja, Selasa (10/9/2013).

Sulam sendiri dibentuk oleh sejumlah seniman muda yang merasa prihatin dengan kurikulum yang ada di sejumlah sekolah musik di Indonesia. Menurut Feri, kurikulum yang dibangun cenderung membebani siswa karena mereka dituntut secara benar untuk bermain musik.

“Apalagi sebagian orang tua yang menyekolahkan anaknya ke tempat belajar musik berharap besar anaknya itu bisa jadi musisi hebat dan menang lomba. Begitu juga sebaliknya sekolah tempat anak itu belajar musik akhirnya menekan anak untuk secepatnya bisa bermain musik. Padahal itu bisa membuat mereka stress,” tuturnya.

Karena itu, Sulam mencoba memberi metode pelajaran baru dengan lebih mengutamakan kepada pendekatan filosofis siswa terutama hakekat musik. Menurutnya, jika hal itu sudah diresapi dengan baik dengan sendirinya siswa bisa bermain musik secara maksimal sesuai dengan karakter masing-masing siswa.

Berbeda dengan sekolah musik kebanyakan yang menyelenggarakan proses belajar mengajar di ruang kelas, Sulam justru menyelenggarakan prses belajar di sejumlah tempat heritage. Di antaranya, Pojok Beteng Wetan, Pulo Cemeti, Joglo Jago, Oemah Panggung, XT Square dan Lembah UGM .

“Tiap bulan lokasi belajar akan kami pindah,” ucap Kepala Akademik Sulam, Riza Hoida Hais. Menurutnya penggunaan heritage dilakukan karena selama ini heritage di mata kawula muda telah beralih fungsi menjadi sasaran corat coret dan tempat pacaran.

“Zaman dahulu heritage itu digunakan untuk bersemedi dan belajar. Nah, langkah kami menggunakannya sebagai tempat belajar adalah untuk mengembalikan esensi awal heritage,” imbuh Riza yang piawai bermain flute itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya