SOLOPOS.COM - Tri Hartono, dosen akuntansi di Universitas Aisyah Jogja, Gamping. (Foto istimewa)

Dosen akuntansi di Universitas Aisyah Jogja, Gamping,  berhasil membawa pulang sebuah penghargaan bergengsi di bidang finansial

Harianjogja.com, SLEMAN– Tri Hartono, dosen akuntansi di Universitas Aisyah Jogja, Gamping,  berhasil membawa pulang sebuah penghargaan bergengsi di bidang finansial dan perbankan dari HSBC Indonesia Research Award (HIRA) 2017.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Penelitian Tri, begitu beliau biasa dipanggil oleh mahasiswanya, didaulat sebagai satu dari 10 penelitian terbaik di ajang tersebut. HIRA merupakan salah satu inisiatif dari program kerja sama HSBC Indonesia dan Putera Sampoerna Foundation (PSF) melalui Sampoerna University yang ditujukan untuk mendorong kemajuan edukasi keuangan dan perbankan baik secara nasional dan lokal.

HIRA sendiri diselenggarakan guna memotivasi dosen dan peneliti agar mampu menjadi agen perubahan terkait edukasi keuangan, terutama lewat penelitian yang solutif dalam menjawab permasalahan daerah masing-masing.

“Waktu itu saya mendapatkan informasi mengenai ajang ini dari sesama rekan dosen, puji syukur ternyata penelitian sederhana saya lolos menjadi salah satu proposal terbaik. Ini menjadi motivasi saya juga untuk semakin serius mendalami isu literasi keuangan terutama bagi penyandang tuna netra, yang merupakan fokus riset saya kemarin,” jawabnya melalui rilis yang diterima Harianjogja.com, Sabtu (20/1/2018).

Ide untuk melakukan penelitian mengenai cara mengenali uang bagi tuna netra muncul ketika Pak Tri berada dalam sebuah perjalan bis ke Cilacap.

“Cerita bermula saat saya menumpangi bus antarkota tujuan Cilacap-Jogja. Dalam perjalanan itu, saya duduk bersebelahan dengan seorang penyandang tuna netra. Mendekati tujuan, kernet mengumpulkan ongkos bis yang sebesar Rp60.000 dari seluruh  penumpang bus. Penumpang tersebut membayar dengan dua lembar uang masing-masing sebesar Rp50.000 dan Rp20.000. Kernet lalu memberikannya uang kembalian sebesar Rp10.000. Selepas kernet pergi, sang penumpang meminta bantuan saya untuk mengecek jika kembalian tersebut benar jumlahnya.”

“Dari situ saya menyadari kesulitan yang harus dihadapi para teman-teman tuna netra saat harus melakukan transaksi berkaitan dengan uang. Besoknya saya langsung menulis sebuah draf penelitian. Tujuannya sederhana, ingin membantu supaya lebih mudah bagi penyandang tuna netra untuk mengidentifikasi nominal dan keaslian uang kertas,” ucap pria berusia 27 tahun ini.

Setelah berdiskusi dengan beberapa relawan untuk tuna netra, Tri kemudian berkenalan dengan seseorang dari Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) di Jogja. Dari situ, beliau dihubungkan dengan Yayasan Kesejahteraan Tuna Netra Islam (Yaketunis). Merekalah yang kemudian membantu Tri mengumpulkan sekitar 50 responden yang tergolong buta total untuk terlibat dalam eksperimen untuk mendeteksi uang palsu.

“Dari 50 responden, ternyata hanya setengahnya yang dapat membaca nominal serta membedakan antara uang asli dan palsu. Kesulitan mereka terutama ketika uang sudah kucel, jadi sulit terbaca. Saya kemudian bertanya apa yang dapat membantu mereka lebih mudah untuk mengindentifikasi uang palsu. Rata-rata menjawab jika uang tersebut dilengkapi dengan huruf braille. Dari situ kemudian saya membuat sampel uang kertas dari HVS untuk eksperimen lebih lanjut,” jelas pria yang dulunya berkuliah di jurusan akuntansi forensik ini.

Caranya cukup sederhana, Tri memotong kertas HVS menyerupai ukuran uang kertas asli. Untuk keterangan nominal, huruf-hurufnya dilubangi dengan peniti, sehingga menyerupai huruf braille. Ternyata, dengan cara ini sebanyak 48 dari total 50 responden dapat mengenali nominal uang tersebut dengan benar.

Uang kertas resmi yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia dan Perum Peruri sebenarnya memiliki tanda pengenal khusus untuk tuna netra. Uang kertas keluaran 2016 dilengkapi garis timbul untuk membedakan uang asli dengan palsu. Selain itu, setiap nominal uang dilengkapi dengan garis timbul yang berbeda-beda jumlahnya. Uang nominal terbesar memiliki satu garis dan nominal terkecil memiliki tujuh garis.

“Penelitian ini bukan bertujuan untuk menemukan fitur pengganti untuk uang kertas yang sudah ada saat ini, namun sebagai fitur tambahan. Jika penelitian nanti sudah selesai, saya berencana akan mengajukannya sebagai rekomendasi kepada Bank Indonesia dan Perum Peruri. Saat ini saya sedang mengembangkan penelitian dengan jumlah responden lebih banyak lagi, tidak hanya di Yogyakarta namun juga daerah lain di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Supaya kredibilitas penelitiannya lebih teruji. Siapa tahu dari responden lain saya dapat menemukan masalah-masalah lain yang memerlukan solusi lebih lanjut,” jelasnya.

Selain melakukan eksperimen, Tri juga sudah menghubungi pengembang aplikasi Android Money Recognisition (AMR),  aplikasi dengan kemampuan membaca setiap citra dan keaslian uang kertas Rupiah dalam bentuk suara, untuk mendiskusikan inovasi-inovasi yang dapat dikembangkan sebagai solusi untuk mempermudah tuna netra mengenali uang.

“Saat ini tantangan utama saya adalah mencari mesin tik khusus yang bisa mencetak nominal uang dengan huruf braille tanpa melubangi kertasnya, mengingat secara hukum uang memang tidak boleh dilubangi.”

Ia melanjutkan, “Uang kertas yang selama ini beredar sudah dibuat sedemikian rupa sehingga mudah dikenali keaslian dan nominalnya bagi para tuna netra. Namun lewat penelitian ini, saya ingin mempelajari lebih dalam kesulitan-kesulitan yang dihadapi para tuna netra dalam mengenali uang, sehingga dapat menemukan solusi-solusi baru yang dapat kita lakukan untuk mempermudah mereka.”

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya