SOLOPOS.COM - Salah satu adegan dalam drama kolosal Njemparing Rasa yang digelar di Lapangan Grha Sabha Pramana (GSP) Universitas Gadjah Mada (UGM), Minggu (12/10/2014) malam. (JIBI/Harian Jogja/Arief Junianto)

Harianjogja.com, JOGJA—Ratusan seniman lintas komunitas seni di Jogja berkolaborasi menggelar pentas drama kolosal luar ruangan bertajuk Njemparing Rasa dengan lakon kisah Sumantri dan Sukasrana. Total hampir 300 seniman muda dari berbagai unsur kesenian dan dari berbagai kantong seni di Jogja terlibat, mulai dari pelaku seni teater, seni tari, seni tradisi, maupun sastra.

Pentas yang digelar di Lapangan Grha Sabha Pramana, Universitas Gadjah Mada (UGM), Minggu (12/10/2014) tersebut mengangkat tema Menarik Busur Sejarah Membidik Masa Depan. Dikisahkan, Sumantri adalah anak dari Resi Suwandagni dari pertapaan Argasekar. Sifat nyawiji antara Sumantri dengan adiknya, Sukasrana, membuat adiknya tak rela ditinggal kakaknya karena sebenarnya Sukasrana mengetahui kesaktian Sumantri belumlah matang.

Promosi Pemimpin Negarawan yang Bikin Rakyat Tertawan

Oleh sebab itu, ketika Sukasrana ditinggal pergi Sumantri untuk mengabdi pada Negeri Mayapada, ia pun nekat menyusul. Pada suatu waktu, Negeri Mayapada dengan Raja Prabu Citrawijaya menggelar sayembara untuk mencarikan jodoh bagi anaknya, Putri Citrawati. Sayembara itu pun diikuti oleh 1.000 raja dari berbagai negeri.

Sumantri kemudian menjadi pemenang sayembara tersebut dan berhak menikahi Putri Citrawati. Tapi ternyata Sumantri adalah utusan Prabu Arjuna Sasrabahu sehingga hal itu membuat kecewa Putri Citrawati. Putri Citrawati pun meminta Sumantri bertanding dengan rajanya karena ia lebih memilih Sumantri sebagai suami.

Kisah Sumantri dan Sukasrana kemudian diadaptasi menjadi kisah masa kini, saat diceritakan Sukasrana tewas di tangan Sumantri, adiknya. Namun Sukasrana ternyata masih sehat dan segar bugar serta hadir pada masa sekarang untuk menceritakan kembali kisah sesungguhnya tentang masa silamnya. Oleh karena itulah pentas drama kolosal tersebut dibuka dengan cuplikan adegan sehari-hari yang terjadi di Ibu Kota Jakarta. Pentas drama ini juga memadukan unsur tradisional dengan teknologi kekinian, termasuk dalam cuplikan layar dan tata musik yang digunakan.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, GBPH Yudhaningrat mengemukakan, ide menggelar pentas drama kolosal tersebut bermula dari kegelisahan atas situasi kebangsaan saat ini yang cenderung hanya mengikuti arus zaman. Di sisi lain, masih minimnya jumlah pertunjukan kolosal outdoor yang besar dan inovatif juga mendorong pemerintah menggandeng para pelaku seni untuk menggelar pentas Njemparing Rasa.

Pimpinan produksi drama kolosal Njemparing Rasa Suharmono menyebutkan, total dana yang dianggarkan untuk pentas besar tersebut mencapai Rp600 juta. Namun demikian, pada saat realisasi pihaknya hanya menghabiskan dana Rp400 juta.

Dia mengakui, proses persiapan pentas drama kolosal Njemparing Rasa telah dirancang sejak 2013. Menurut Suharmono, pentas ini mengandung pesan kritik sosial dan berharap masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi objek yang menerima keadaan, pasrah, dan membiarkan hidup mengalir begitu saja, tetapi juga harus berperan sebagai subjek yang berbuat dan mencipta sesuatu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya