SOLOPOS.COM - Luncuran awan panas Gunung Merapi terlihat dari Turi, Sleman, DI Yogyakarta, Selasa (14/3/2023). Menurut data BPPTKG 14 Maret 2023 pukul 05.59 Gunung Merapi mengeluarkan awan panas guguran dengan jarak luncur 1600 meter ke arah barat daya. ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/tom.

Solopos.com, Jogja — Sebanyak 12 jenis mamalia di Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) terancam akibat gangguan alam di area Gunung Merapi. Dari jumlah jenis mamalia tersebut, 10 di antaranya tergolong mamalia darat.

Hal itu mengacu pada hasil penelitian mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM), Nurpana Sulaksono. Dalam penelitiannya, Nurpana menggunakan puluhan kamera jebakan guna mengetahui 12 jenis mamalia yang terancam.

Promosi Komeng The Phenomenon, Diserbu Jutaan Pemilih Anomali

Di antara mamalia tersebut, seperti monyet, kijang, landak, garangan, lutung, babi hutan, trenggiling, kucing hutan, biul, rase, dan tupai terbang. Hewan paling banyak ditemukan di area TNGM, yaitu monyet ekor panjang, kijang, landak, dan luwak.

Nurpana mengatakan gangguan alam yang mengancam keberadaan satwa liar di area Merapi berupa bencana erupsi yang terjadi secara periodik. Selain itu, gangguan dari aktivitas manusia berupa kegiatan perumputan, penambangan, dan aktivitas wisata di wilayah tersebut.

Dalam disertasinya berjudul Respon Mamalia Darat Ukuran Sedang-Besar pada Berbagai Tipe Gangguan di Lanskap Taman Nasional Gunung Merapi, Nurpana mengatakan mamalia dengan ukuran sedang dan besar, seperti monyet dan lutung atau kijang cenderung menghindar dan menjauhi area yang dekat dengan gangguan. Hal itu baik di permukiman maupun penambangan.

“Satwa itu cenderung berada di area tutupan rapat dan menjauh dari area permukiman dan penambangan, serta suka pada lahan yang agak tinggi,” kata dia, seperti diberitakan Solopos.com dari Antara, Selasa (14/3/2023).

Nurpana mengatakan habitat paling luas kawasan Merapi dimiliki kucing hutan yang menempati area 5.000 hektare, baik di dalam maupun luar TNGM. Berikutnya, luwak (4.700 hektare), kijang (3.000 hektare).

Luas habitat itu baik di luar maupun di dalam kawasan taman nasional. Meski seperti itu, kondisi habitat kijang saat ini mengalami fragmentasi akibat erupsi dan aktivitas di permukiman penduduk. Lokasi habitat tersebut berada di utara dan selatan Gunung Merapi.

“Antara wilayah utara dan selatan terputus yang akan memberikan dampak pada pelestarian area yang seharusnya populasinya bisa terhubung,” ujar dia.

Menurut Nurpana, gangguan paling tinggi terjadi pada habitat yang terdampak akibat gangguan aktivitas penambangan. Habitat dengan tingkat gangguan tinggi itu cenderung direspons dengan kekayaan jenis dan keragaman jenis mamalia yang rendah.

Sedangkan, pada habitat yang tidak terganggu justru cenderung memiliki kekayaan tinggi namun memiliki tingkat keragaman mamalia paling rendah akibat dominasi beberapa jenis satwa tertentu.

Dari hasil penelitian ini, Nurpana merekomendasikan untuk dilakukan pengukuran kondisi mamalia secara aktif dan berkelanjutan guna mengetahui dinamika dan perkembangan jumlah populasi dan habitat. Diperlukan juga pengaturan waktu aktivitas pengambilan rumput oleh masyarakat.

“Pengaturan dilakukan untuk mencegah gangguan tidak melebihi ambang batas toleran yang dapat memberikan dampak langsung dan tidak langsung terhadap satwa liar, khususnya mamalia,” kata dia.

Rekomendasi lainnya, dilakukan pengamanan kawasan untuk mencegah aksi perburuan, melakukan pengaturan dan penertiban terhadap aktivitas penggalian batu dan pasir guna mencegah terjadinya fragmentasi habitat.

“Pengambilan material batu dan pasir yang tidak terkendali bisa menyebabkan terputusnya konektivitas antar habitat,” ujar dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya