SOLOPOS.COM - Ilustrasi perangkat desa (JIBI/Harianjaogja.com/Dok.)

Anggota Forum Pemantau Independen (Forpi) Sleman Hempri Suyatna mengatakan adanya dugaan politik uang selama proses musyawarah desa (Musdes)

Harianjogja.com, SLEMAN- Aroma praktek KKN (kolusi, korupsi dan nepotisme) seleksi perangkat desa terjadi akibat kurang menggigitnya aturan yang diterapkan.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Anggota Forum Pemantau Independen (Forpi) Sleman Hempri Suyatna mengatakan adanya dugaan politik uang selama proses musyawarah desa (Musdes) disebabkan karena proses seleksi sejak awal cenderung subyektif.

Seharusnya, kata Hempri, calon pelamar mengikuti test psikologi terlebih dulu. Kemudian diikuti tes tertulis lalu fit and proper test. “Musdes seharusnya ditaruh diakhir semacam fit and proper test, bukan sekedar perkenalan,” katanya kepada Harianjogja.com, Kamis (27/4/2017).

Jika sejak awal sudah main politik uang atau barang, lanjutnya, maka proses seleksi dinilai tidak akan maksimal. Dia menyoroti mekanisme Musdes di mana masing-masing calon minimal mengantongi lima suara untuk jabatan Sekdes dan Kaur serta dua suara minimal untuk mendukung calon dukuh.

Pola seperti itu, kata Hempri, kental dengan politik transaksional atau politik kekerabatan. Di mana calon yang dapat maju hanya mereka yang dikenal atau kerabat keluarga.

“Seharusnya ada mekanisme untuk menganulir kalau ketahuan ada yang tidak fair. Kalau mekanisme yang diterapkan saat ini itu termasuk kemunduran demokrasi,” kritiknya.

Sebab, kata Hempri, dengan adanya banyak kekerabatan yang menjabat di lingkungan Pemdes, akan memunculkan status quo. Jika itu terjadi, maka kehidupan masyarakat di desa tidak dinamis. “Saya dapat info, anak kabag di Pemdes tertentu lolos Musdes. Ada juga teman saya peserta Musdes yang diiming-imingi sesuatu kalau terpilih,” kata Hempri.

Bahkan, lanjutnya, di salah satu Pemdes di Sleman, peserta seleksi menyiapkan dana hingga Rp10 juta. “Jadi bukan meminta Rp10 juta tapi peserta seleksi menyiapkan dana Rp10 juta untuk pemungutan,” ujarnya.

Terpisah, Ketua Komisi A DPRD Sleman Hendrawan Astono mengatakan, sejatinya baik Perda maupun Perbup sudah mengantisipasi munculnya money politik dalam seleksi perangkat desa. “Visi misi dalam Perda dan aturan dalam Perbub sudah jelas. Kalau ada kerabat yang maju, maka keluarga peserta Musdes harus mundur,” katanya.

Sampai saat ini, lanjut dia, Komisi A belum mendapat aduan terkait KKN dalam seleksi perangkat desa. Pihaknya terbuka untuk menindaklanjuti laporan dari warga jika memang disertai bukti-bukti konkret. “Pelapor asal punya bukti akan kami lindungi,” ujarnya.

Sejak awal, Komisi A meminta agar masyarakat mengawasi proses seleksi tersebut. Meski begitu, dia juga berharap agar Pemkab tidak hanya menyerahkan pelaksanaan seleksi kepada Pemdes. “Pemkab seharusnya, meningkatkan pengawasan selama proses seleksi dilakukan,” kritik Hendrawan.

Kasus dugaan praktik KKN selama seleksi perangkat desa menyeruak setelah Iswanto, salah seorang warga Sleman melaporkan masalah tersebut ke aplikasi Lapor Sleman.

Menurutnya, pelaksanaan Musdes untuk pemilihan calon perangkat desa kental dengan praktek KKN. Sebab untuk dapat mengikuti tahapan tes selanjutnya, satu orang pendaftar harus mengantongi minimal lima dukungan suara anggota Musdes.

Di lapangan, setiap calon berusaha untuk mendapatkan dukungan minimal lima anggota Musdes begitu kesulitan. Ironisnya, kata Iswanto, ternyata ada beberapa anggota Musdes yang meminta sejumlah rupiah hanya untuk memberi dukungan. “Sehingga sangat mungkin sistemtata cara seperti itu menjadi politik uang, siapa yang punya uang dia yang ikut tes tahapan selanjutnya,” ungkapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya