SOLOPOS.COM - Muji memilih gori untuk dicacah. (JIBI/Harian Jogja/Rina Wijayanti)
Harianjogja.com, JOGJA- Gudeg menjadi salah satu ciri kuliner yang melekat untuk Kota Jogja. Sayur berbahan dasar nangka muda (gori) yang diolah dengan bumbu manis berwarna cokelat tua ini menjadi salah satu kuliner khas.
Namun demikian, ternyata gori sebagai bahan dasar kuliner ini masih didatangkan dari sejumlah daerah di luar DIY.
Di balik berkibarnya kuliner gudeg, rupanya Kota Jogja bahkan DIY tidak mampu menyokong sebagian besar kebutuhan gori. Pada bulan-bulan tertentu bahkan harus menanti kiriman dari Sumatra.
Tak hanya kian mahal, kualitasnya juga naik turun. Saat ini hanya kawasan Kaliurang, Sleman yang mampu memasok gori untuk kebutuhan kuliner sehari-sehari di kota Jogja.
Sayangnya, kualitas gori asal kaki Merapi itu tidak duduk pada level tinggi. Gori paling berkualitas dan memiliki nilai harga yang lebih tinggi berasal dari Prembun, Kebumen.
Sementara gori asal Kaliurang jumlahnya tidak seberapa banyak untuk memenuhi kebutuhan pedagang gudeg dan rasanya standar.
“Gori Prembun itu yang paling bagus, satu kilo cacahan sekarang bisa Rp10.000. Jika dimasak rasanya mak krenyes, tapi kalau gori-gori lain biasanya agak lembek,” kata Siti Mujiyati, 57, salah satu penyacah gori di Pasar Beringharjo yang ditemui koran ini beberapa waktu lalu.
Perempuan asal Tegalrejo, Jogja ini menjadi penyacah gori di pasar Beringharjo sejak 1980. Bermula meneruskan usaha mertuanya. Seiring berkembangnya Kota Jogja, Muji adalah salah satu orang yang mereguk manisnya ikon Kota Jogja itu.
Pada hari biasa Senin hingga Kamis rata-rata dia mencacah hingga dua kuintal gori. Sementara menjelang akhir pekan, bisa dipastikan permintaan melonjak hingga lima kuintal.
Bahkan pernah suatu ketika menjelang liburan dia mencacah hingga 1,1 ton.