SOLOPOS.COM - Muji memilih gori untuk dicacah. (JIBI/Harian Jogja/Rina Wijayanti)

Harianjogja.com, JOGJA- Pengalamannya yang panjang membuat Muji, perempuan tiga orang anak ini tahu benar gori mana yang memiliki kualitas bagus dan biasa.

Perempuan asal Tegalrejo, Jogja ini menjadi penyacah gori di pasar Beringharjo sejak 1980. Bermula meneruskan usaha mertuanya. Seiring berkembangnya Kota Jogja, Muji adalah salah satu orang yang mereguk manisnya ikon Kota Jogja itu.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Selesai mencacah, pada waktu senggang biasanya malam hari, Muji melanjutkan berkeliling ke warung-warung langganannya untuk mencoba resep gudeg.

“Antara pembeli dengan penjual itu harus saling menjaga saling percaya, saya tidak saja mencacah tapi juga mencicipi masakan mereka jadi saya tahu mana gori yang bagus mana yang biasa,” katanya.

Pelanggan paling besar ialah warung gudeg Yu Djum dan Bu Tjitro. Selebihnya warung-warung makan kecil yang jumlahnya ratusan buah menyebar di Kota Gudeg ini.

Muji hanya satu di antara enam pengusaha pencacah gori di Pasar Beringharjo.

Pencacahan gori rupanya juga mengalami fluktuasi. Pada bulan-bulan tertentu biasanya Januari-Februari, gori di Jawa susah didapat.

Terpaksa mengandalkan kiriman dari Sumatra. Barangnya tak seberapa bagus dan harganya menjadi mahal. Gori asal Sumatera bisa mencapai harga Rp15.000 per kilo.

Namun dengan harga relatif mahal, untuk sebuah ikon Kota Gudeg, gori menjadi kebutuhan pokok yang wajib terpenuhi.

“Gori sudah jadi kebutuhan pokok di Jogja, walaupun ada telur dan ayamnya tapi tak ada gori bukan gudeg namanya,” kata Muji berkelakar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya