Harianjogja.com, JOGJA-Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) dan masyarakat antikorupsi se-DIY menilai penegakan hukum antikorupsi di daerah masih jalan di tempat. Gagasan reformasi birokrasi pemerintahan baru dibawah komando Joko Widodo-Yusuf Kalla 2015-2019 dianggap belum jelas.
Peneliti Pukat UGM Laras Susanti mengemukakan langkah pemerintah Jokowi-JK dalam sektor penegakan hukum, khususnya antikorupsi mengandung tanda tanya besar, akan dibawa kemana langkah penegakkan hukum 2015-2019?
Promosi Kisah Pangeran Samudra di Balik Tipu-Tipu Ritual Seks Gunung Kemukus
Reformasi birokrasi Indonesia yang diukur, salah satunya, dari indeks persepsi korupsi (IPK) saat ini mengecewakan. Target IPK pada 2014 adalah 5,0, namun faktanya IPK hanya sampai 3,4.
“Beberapa kasus korupsi di daerah tidak dapat ditangani dengan maksimal,” papar Laras kepada wartawan di kantor Pukat UGM, Senin (8/12).
Menurutnya, Jokowi-JK pun dinilai tak bisa lepas dari cengkraman politik tawar menawar. Hal itu terlihat dari penentuan jabatan sektor penegakan hukum dari unsur partai politik, seperti Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan penentuan Jaksa Agung.
“Jelas berdampak pada reformasi birokrasi hukum yang berintegritas, visi pemberantasan korupsi yang bebas kepentingan politik,” ucap Laras.
Direktur Indonesian Court Monitoring Tri Wahyu mengungkapkan, kasus korupsi di DIY yang belum ada perkembangan di antaranya adalah korupsi dana hibah klub sepak bola Persiba Bantul. Kasus korupsi senilai Rp11,5 miliar dengan terangka mantan Bupati Bantul itu sudah 1,5 tahun belum juga diajukan ke persidangan.
Kemudian, korupsi proyek pengadaan Perdola di Badan Lingkungan Hidup (BLH) Jogja. Kasus tersebut sudah sampai tahap penyidikan semestinya sudah ada tersangka. Kejaksaan terkesan ragu melanjutkan kasus yang menyeret pejabat. “Saya katakan belum ada progres penegakan korupsi di daerah,” kata Tri Wahyu.
Mandegnya penegakan hukum anti korupsi di daerah diakui Pukat dan masyarakat antikorupsi se-DIY turut dipengaruhi oleh kekisruhan Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) sehingga merugikan penegakan hukum antikorupsi, seperti seleksi pimpinan KPK tertunda, legisasi sektor penegakan hukum tidak lancar.
Pukat mendesak penegak hukum di daerah baik kepolisian, kejaksaan, Inspektorat, dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) bekerja serius dan tidak takut dengan kelompok politik tertentu dalam memberantas korupsi.