Jogja
Sabtu, 26 November 2016 - 14:20 WIB

HARI GURU : Kisah Sugito, Guru Berusia 75 Tahun yang Tetap Mengajar

Redaksi Solopos.com  /  Nina Atmasari  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Agustinus Sugito saat mengajar siswa SMK I Pundong, Jumat (25/11) siang. (Harian Jogja/Arief Junianto)

Hari guru mengingatkan akan jasa-jasa para pendidik generasi muda

Harianjogja.com, BANTUL- Menjadi guru bukanlah cita-citanya, tapi justru jadi jalan hidupnya. Di sisa usia dan tenaganya, mengajar tetap menjadi dunia yang mustahil ditinggalkannya. Agustinus Sugito, warga Sidomulyo, Kecamatan Bambanglipuro memilih tetap bergelut dengan para siswa di usianya yang semakin senja.

Advertisement

Jumat (25/11/2016) siang, kondisi SMK Negeri 1 Pundong mulai lengang. Di sekolah yang dindingnya didominasi warna hijau itu hanya tampak beberapa siswi. Sedangkan sebagian besar siswa sudah lebih dulu pulang untuk menunaikan ibadah salat Jumat.
Tapi tidak dengan 14 siswa laki-laki itu. Mereka justru berkumpul di salah satu kelas untuk mengikuti pelajaran tambahan, pelajaran agama Katholik.

Tak lama, pria paruh baya dengan busana rapi nampak mendekat. Dengan langkah cepat, ia menghampiri kelas itu. Hari ini, telah genap 55 tahun lamanya ia menggeluti dunia pendidikan.

Advertisement

Tak lama, pria paruh baya dengan busana rapi nampak mendekat. Dengan langkah cepat, ia menghampiri kelas itu. Hari ini, telah genap 55 tahun lamanya ia menggeluti dunia pendidikan.

Usianya yang lanjut boleh menggerogoti sebagian tenaganya. Tak lagi seperti ketika masih muda, ia kini tak lagi sanggup jika harus mengajar banyak kelas. Sadar akan kemampuannya itu, ia pun memilih untuk mengajar pelajaran agama saja. “Itu pun saya minta semua kelas digabung jadi satu. Saya juga minta harus di luar jam pelajaran reguler,” katanya.

Bahkan, istri dan kelima anaknya sudah melarangnya untuk mengajar. Tentu saja, kesehatan menjadi alasannya. Tapi baginya, mengajar justru menjadi tenaga tambahan yang membuatnya tetap optimistis menjalani sisa usia.

Advertisement


Alhasil, setelah pensiun dari kelas, ia pun memilih untuk menjadi guru agama. Gayung bersambut, tiga sekolah pun menawarkan tempatnya untuk Gito menghabiskan masa senjanya. Masing-masing adalah SMA 1 Pundong, SMA 1 Bambanglipuro, dan SMK 1 Pundong.

Alhasil, setelah pensiun dari kelas, ia pun memilih untuk menjadi guru agama. Gayung bersambut, tiga sekolah pun menawarkan tempatnya untuk Gito menghabiskan masa senjanya. Masing-masing adalah SMA 1 Pundong, SMA 1 Bambanglipuro, dan SMK 1 Pundong.

Itulah sebabnya, kali ini ia sama sekali tak mematok tarif mengajar. Berapapun yang diberikan pihak sekolah, ia terima dengan senang hati. “Yang penting cukup untuk ganti beli bensin,” kelakarnya.

Advertisement

Baginya, tetap bisa mengabdi untuk dunia pendidikan sudah lebih dari cukup. Terlebih itu terjadi saat memasuki usia senja seperti ini.

Laiknya pria lansia, kesibukannya kini tak sepadat dulu. Kini, di luar aktivitas mengajarnya, ia lebih memilih untuk menghabiskan waktu berkebun. “Saya punya beberapa pohon pisang,” katanya.

Bahkan, setahun terakhir ia pun berupaya mendapatkan bantuan mesin cacah dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bantul untuk mengolah daun kering menjadi kompos. Mesin itu kini sudah ia berdayakan kepada para pemuda di sekitar rumahnya.

Advertisement

Saat masih kecil, ia yang kini sudah berumur 75 tahun itu sama sekali tak membayangkan jika pendidikan menjadi dunianya hingga sekarang. Guru menjadi pilihannya setelah di tahun 1950-an ia mendapat kesempatan masuk ke Sekolah Guru B (SGB).

Bersambung halaman 3, Siswa jaman sekarang…


Di masa itu, sekolah guru memang memiliki presitisius. Sulitnya tes ujian masuk membuat sekolah itu dianggap sebagai lembaga pendidikan yang terhormat. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu.

 

Di masa itu, sekolah guru memang memiliki presitisius. Sulitnya tes ujian masuk membuat sekolah itu dianggap sebagai lembaga pendidikan yang terhormat. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan itu. “Di situlah saya digembleng untuk mencintai profesi guru.”

Sejak itulah, kelas dan kurikulum pun menjadi akrab baginya. Sejumlah sekolah ia jajaki.
Tak hanya di Bantul, ia pun sempat merasakan jadi guru di luar DIY. Di tahun 1961, ia mengawali karir mengajarnya di salah satu Sekolah Dasar di Sukabumi.

Dua tahun di sana, ia pun memutuskan untuk kembali di DIY, tepatnya di Gunungkidul. Barulah setelah itu secara berturut-turut ia mengajar di sejumlah sekolah di DIY.

Kini ia memang hanya fokus mengajar agama. Bukan tanpa misi, ia berharap dengan keterlibatannya mengajar agama, ia berharap bisa turut membantu menanamkan nilai-nilai budi pekerti yang luhur kepada siswa.

Siswa jaman sekarang, menurutnya memang berbeda dengan siswa jaman ketika ia masih aktif mengajar dulu. Siswa kini cenderung tidak memiliki etika dan unggah-ungguh dengan orang yang lebih tua. “Kalau dulu, siswa akan turun dari sepeda jika melintas di depan gurunya. Kalau sekarang?” gerutunya.

Meski hanya berstatus sebagai guru lepas, kerja Gito nyaris tanpa celah di mata para petinggi sekolah. Bagi mereka, dengan memberikan kesempatan kepada Gito, banyak pekerjaan yang terbantu. “Salah satunya adalah kebutuhan materi agama katholik anak-anak terpenuhi. Jujur saja, sulit sekali mencari guru agama katholik di sini,” aku Sutapa, Wakil Bidang Kesiswaan SMK 1 Pundong.

Advertisement
Kata Kunci : Guru Bantul Hari Guru
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif