SOLOPOS.COM - Pameran kerajinan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Industri fashion Jogja berkembang pesat, namun pemasaran di mall kurang diminati para desainer

Harianjogja.com, JOGJA—Sebagian besar desainer di Jogja masih memasarkan produknya dalam bentuk privat order. Masih sedikit desainer di Jogja yang melirik pusat perbelanjaan sebagai tempat berjualan.

Promosi Pramudya Kusumawardana Bukti Kejamnya Netizen Indonesia

Salah satu Wakil Ketua Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI) DIY Philip Iswantoro mengungkapkan, dari 24 anggota APPMI DIY, baru lima orang yang merambah pusat perbelanjaan untuk memasarkan karyanya.

Kelima desainer tersebut antara lain Lia Mustafa, Amin Hendra W, Dewi Syifa,  Sugeng Waskito, dan dirinya sendiri. “Untuk berjualan di mal perlu komitmen,” ujar dia di The Phoenix Hotel, Jogja, Kamis (8/10/2015) sore.

Desainer APPMI DIY yang juga berjualan di mal Amin Hendra W mengungkapkan, komitmen yang dimaksud yakni mengenai ketersediaan baju. Misalnya, dalam satu mal, seorang desainer menyediakan 100 baju ketika baju itu laku lima, maka harus segera diisi kembali.

Selain itu, misalkan pihak mal ingin semua koleksi diganti setelah tiga bulan, desainer harus melakukan hal tersebut. “Enggak bisa kalau ditunda-tunda. Harus komitmen,” ujar dia.

Amin sendiri memanfaatkan beberapa gerai untuk memasarkan produknya. Divisi Pengembangan Usaha APPMI DIY itu memasarkan produknya di Griya UMKM Jogja, Mal Sri Ratu di  Semarang, dan di Pasaraya, dan Kelapa Gading Jakarta.

Untuk Jogja, ia menitipkan beberapa karyanya di Centro, Plaza Ambarrukmo Jogja. Rencananya, pada November 2015, akan buka di Hartono Mall. “Kami bekerjasama dengan Hartono Mall dan ada space untuk APPMI,”  ujar dia.

Harga jual setiap karyanya mulai dari Rp500.000 hingga jutaan rupiah. Jika berjualan di mal, ia dikenai potongan 35% hingga 40%. Namun, hal itu tidak jadi soal karena sales promotion girl (SPG) hingga packing sudah mendapatkan fasilitas dari pengelola mal.

Untuk omzet, ia mengaku tidak tentu setiap bulannya. Misalnya, saat pameran di Mal Malioboro selama tiga hari, ia bisa mendapatkan omzet hampir Rp20 juta untuk baju yang dijual Rp350.000 hingga Rp750.000.

Ia mengatakan, dengan berjualan di mal, kesan eksklusif tetap akan didapatkan seorang desainer. Biasanya, ada lantai khusus untuk desainer di pusat perbelanjaan sehingga tetap eksklusif. “Di Jogja memang belum ada mal yang menyediakan lantai khusus  untuk desainer. Tapi, ke depan akan ada di Hartono Mall,” ujar dia.

Amin harus menyediakan baju dalam jumlah besar karena berkomitmen berjualan di mal. Saat ini, ia tengah mengeluarkan karya baru yakni kelengan dengan motif dasar hitam putih.

Ia menjelaskan, kelengan merupakan motif dasar hitam putih, biru putih, atau coklat putih dengan satu kali proses warna. Untuk karya barunya, ia menyediakan hingga 150 baju.

“Saya mengembangkan motif yang terinspirasi besek tempat nasi, bunga kecil-kecil yang bergoyang [kembang goyang], motif tegel klasik, dan tumpukan kue,” ia menjelaskan.

Empat motif itu dipadupadankan dengan harmoni. Untuk siluet, ia memilih sederhana dan siap pakai. Ia juga memberikan garis yang tegas antar motif dengan cutting khas desainer sehingga sulit ditiru orang awam. Material yang digunakan adalah kain prima. Batik yang disajikan merupakan batik cap dengan malam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya