SOLOPOS.COM - Tugu Jogja (Desi Suryanto/JIBI/Harian Jogja)

Jika cita-cita itu terwujud, maka tidak hanya Pemda DIY saja yang akan ikut dalam pemeliharan Sumbu Filosofi, tapi Indonesia dan dunia

Harianjogja.com, BANTUL-Dinas Kebudayaan DIY menggelar sosialisasi Sadar Budaya Sumbu Filosofi di sekitar Panggung Krapyak, Rabu (18/10/2017). Sosialisasi diharapkan dapat menyadarkan masyarakat untuk ikut serta menjaga, merawat dan mengembangkan serta mampu mengkomunikasikan makna Sumbu Filosofi.

Promosi Nusantara Open 2023: Diinisiasi Prabowo, STY Hadir dan Hadiah yang Fantastis

Sosialisasi itu dilakukan dalam rangka menjadikan Jogja dengan Sumbu Filosofinya sebagai warisan budaya dunia. Seperti diketahui, pada 2017, Jogja telah masuk Tentative List United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) sebagai salah satu calon warisan budaya dunia.

Wakil Kepala Dinas Kebudayaan DIY Singgih Raharjo mengatakan, upaya Pemerintah Daerah DIY menjadikan Jogja dengan Sumbu Filosofinya sebagai warisan budaya dunia karena status itu akan membuat pemeliharaan salah satu tanda Keistimewaan DIY tersebut semakin baik. Jika cita-cita itu terwujud, maka tidak hanya Pemda DIY saja yang akan ikut dalam pemeliharan Sumbu Filosofi, tapi Indonesia dan dunia.

“Dunia juga akan memberikan perhatian, seperti halnya batik,” ucapnya kepada warga di sekitar Panggung Krapyak.

Singgih mengatakan, pihaknya telah lama berusaha menjadikan Sumbu Filosofi sebagai salah satu warisan budaya dunia, salah satunya dengan cara sosialisasi. Sosialisasi perlu dilakukan agar masyarakat tahu dan paham mengenai Sumbu Filosofi. Ketika masyarakat sudah tahu dengan Sumbu Filosofi, maka kesadaran masyarakat untuk menjaga warisan itu akan tumbuh, “Masyarakat sekitar sini harus tahu supaya muncul kesadaran untuk merawat Panggung Krapyak,” ujar Singgih.

Pada kesempatan yang sama, Anggota Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya Daerah (DP2WB) Yuwono Sri Suwito menjelaskan tentang apa itu Sumbu Filosofi. Ia menyatakan Sumbu Filosofi adalah garis lurus yang terbentang dari Tugu Golong-Gilig atau Tugu Pal Putih, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan Panggung Krapyak.

Menurutnya, masyarakat harus membedakan Sumbu Filosofi dengan Sumbu Imajiner. Sumbu Imajiner, sebutnya, adalah garis imajinasi yang menghubungkan Laut Selatan, Kraton, dan Gunung Merapi sementara Sumbu Filosofi adalah garis nyata yang berwujud jalan.

Lebih jauh ia menerangkan, Tugu Golong Gilig melambangkan keberadaan sultan dalam melaksanakan kehidupannya. Hal tersebut ditunjukkan dengan menyembah kepada Tuhan Yang Maha Esa yang disertai sikap golong-gilig dan didasari hati yang suci. “Itulah sebabnya Tugu Golong-Gilig menjadi titik pandang utama sultan saat meditasi di Bangsal Manguntur Tangkil di Sitihinggil Utara,” jelas pria yang biasa disapa Romo Yu ini.

Sementara, filosofi Panggung Krapyak ke utara, katanya, menggambarkan perjalanan manusia sejak dilahirkan, beranjak dewasa, menikah sampai punya anak (sangkaning dumadi). Sebaliknya, ucap Romo Yu, dari Tugu Golong Gilig ke Kraton Ngayogyakarta merupakan perjalanan manusia menghadap Sang Kholiq (paraning dumadi).

Ia mengungkapkan, golong-gilig melambangkan bersatunya cipta, rasa, dan karsa yang dilandasi kesucian hati melalui Margatama (jalan menuju keutamanaan) ke arah selatan melalui Malioboro (memakai pedoman ilmu yang diajarkan wali) terus ke selatan lewat Margamulya dan Pengurakan (mengusir nafsu yang negatif).

“Keberadaan Komplek Kepatihan dan Pasar Beringahrjo melambangkan godaan duniawi dan godaan syahwat yang harus diatasi oleh manusia. Sepanjang Jalan Margatama, Malioboro, dan Margamulya ditanami pohon asem yang bermakna menarik dan pohon gayam yang berarti teduh,” jelas dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya