SOLOPOS.COM - Alat berat backhoe terlihat di lokasi calon hunian khusus muslim Damai Islamic Living (DIL) pada Kamis (26/10/2017). Alat berat sudah dikerahkan untuk memulai pengerjaan lahan meski izin belum dikantongi pengembang. (Sekar Langit Nariswari/JIBI/Harian Jogja)

Alat berat ditemukan di kompleks calon hunian Damai Islamic Living (DIC).

Harianjogja.com, SLEMAN— Hunian khusus muslim Damai Islamic Living (DIC) di Sardonoharjo, Ngaglik, Sleman tak hanya menuai polemik karena eksklusivitasnya terhadap agama tertentu. Setelah ditemukan promosinya tak sesuai perizinan di Pemkab Sleman, pengembang perumahan ternyata juga telah mengerahkan alat berat ke area lokasi untuk pembangunan, kendati perizinan belum dikantongi.

Promosi Mimpi Prestasi Piala Asia, Lebih dari Gol Salto Widodo C Putra

Sebelumnya ditemukan keberadaan hunian khusus agama tertentu itu tak sesuai dengan penawaran yang disebutkan dalam brosur iklan. Properti yang masih dalam proses izin prinsip itu mencantumkan pengajuan bagi Islamic Center dan pemondokan ke Pemkab Sleman, sedangkan penawarannya ke masyarakat mengklaim hunian susun berupa kondominium hotel (kondotel).

Sekretaris Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Terpadu (DPMPPT) Sleman, Triyana Wahyuningsih mengatakan izin yang diajukan ialah pemanfaatan ruang sebagai Islamic Center dan pemondokan bukan kondominium seperti dijajakan ke masyarakat. “Ya kalau menawarkan seperti itu tidak sesuai dengan izin yang dimohonkan karena apartemen dan kondotel memang tidak bisa,” ujarnya ketika dikonfirmasi, Kamis (26/10/2017).

Dikatakan pula jika saat ini pemerintah daerah baru melaksanakan proses izin prinsip sehingga pembangunan apapun belum boleh dilakukan. Izin prinsip ini dilakukan salah satunya dengan memasang papan pengumuman untuk menjaring aspirasi masyarakat setempat.

Namun fakta di lapangan menunjukkan hal berbeda. Pantauan Harianjogja.com di lokasi menemukan, sebuah papan pengumuman telah terpasang di lahan seluas 18.675 meter persegi itu. Papan itu juga menerangkan rencana pemanfaatan ruang sebagai Islamic Center dan pemondokan serta rentang waktu penjaringan aspirasi mulai 23 Oktober lalu.

Namun, didapati pula sebuah alat berat backhoe yang menggarap parit di lahan itu. Parit kecil itu berada di sisi timur lahan sedangkan di sisi barat masih ada lahan yang belum dikerjakan sama sekali. Informasi yang dikumpulkan di lapangan mengatakan jika pengerjaan fisik itu baru saja dilakukan pekan ini.

Alfan, salah satu kontak marketing DIC mengatakan jika hunian yang ditawarkannya itu sudah mengantongi izin. Dari kapasitas 800 kepala keluarga (KK) dikatakan sudah ada 100 pemesan yang berasal dari dalam dan luar Jogja.
Sementara Rahmawati, marketing DIC menerangkan jika konsep properti itu ialah rumah susun bergaya apartemen meski terbatas hanya enam lantai. “Sama saja seperti yang lainnya tapi ada yang berbeda, kesannya eksklusif karena karena tidak seperti rumah susun biasa,” katanya.

Hunian DIC sebelumnya dikritik sosiolog karena tidka mencerminkan semangat pluralisme di Kota Jogja. Dalam promosinya ke masyarakat, hunian ini berkonsep rumah susun yang mengkhususkan diri untuk muslim muncul. Dalam iklannya yang sudah banyak bermunculan di sosial media menyebutkan, jika hanya orang yang lolos seleksi yang bisa tinggal di properti ini.

Hunian dengan konsep enam lantai ini memiliki kapasitas  833 ruang. Iklannya juga menjanjikan jika hunian ini bisa dimiliki tanpa riba dan tanpa bunga. DIC disebutkan cocok bagi umat muslim karena banyak kajian serta lingkungan kondusif termasuk program hapalan alquran 30 juz. Kompleks ini juga diiklankan sebagai hunian khusus muslim saleh dan saleha serta diklaim didukung penuh pemerintah Sleman, ustaz ternama dan para ulama.

Sosiolog UGM, Prof Koentjoro mengkritik konsep marketing yang diusung oleh pengembang properti itu. Menurutnya, eksklusivitas yang ditawarkan tidak memberikan dampak positif dan bisa mencederai semangat Bhinneka Tunggal Ika. Bahkan dalam agama disebutkan untuk membuat bukan membatasi diri terhadap kalangan tertentu.

Akademisi ini mengatakan jika Jogja sebagai kota pelajar yang berasal dari berbagai daerah dikuatkan sebagai kota toleran dengan perbedaan. Namun, mendadak muncul hunian yang dengan label eksklusif itu. “Kalau mau bikin pesantren silakan tapi kalau hunian eksklusif itu esensinya apa,tidak menduga-duga tapi dari brosur sudah terlihat jelas arahnya, apalagi ada kalimat tetangga kanan kiri terpilih dalam tanda kutip, ini sudah menyimpang,” tegas Koentjoro.

Ia juga menilai jika konsep hunian ini justru membuat penghuninya terjebak pada pola pikir dan cara pandang yang sama. Imbasnya, upaya mewujudkan toleransi dan pluralisme tidak berjalan ideal karena dinamikan masyarakat tidak tergambar. Lebih lanjut, ia meminta pihak pengembang bisa menjelaskan maksud eksklusif tersebut yang diharapkan tidak bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya