SOLOPOS.COM - Ilustrasi/dok

Ilustrasi/dok

Kabupaten Gunungkidul berada di ujung tenggara DIY. Pesona alamnya cukup eksotis, antara lain ada gunung purba, hutan yang memiliki pohon berusia ratusan tahun, Sungai Bengawan Solo Purba, gugusan gunung-gunung karst, gua dan tidak ketinggalan bentangan pantainya.

Promosi Era Emas SEA Games 1991 dan Cerita Fachri Kabur dari Timnas

Sejumlah hal-hal eksotis itu kini telah diangkat keberadaannya sebagai tempat wisata dengan ornamen alam sebagai dagangan utama untuk meraup rupiah dari wisatawan. Pemungut rupiah tidak hanya pemerintah. Swasta juga ikut memungut pundi-pundi uang pelancong.

Mengingat sumber daya alam sudah jadi komoditas ekonomi, imbas yang muncul tidak jauh dari yang namanya konflik. Di Gua Pindul misalnya, konflik perebutan kewenangan pengelolaan sempat berujung pada ancaman penutupan lokasi wisata. Pemicunya, pemilik tanah di sekitar gua protes ke masyarakat dan ingin mengambil alih pengelolaan objek pelesir itu.

Alasan pemilik, warga tidak melibatkan dirinya sejak awal pengelolaan Pindul. Pemilik tanah pun belakangan justru membentuk kelompok pengelola wisata sendiri dua operator yang sebelumnya sudah dibentuk masyarakat.

Pindul memang menjanjikan. Gua yang ada di Desa Bejiharjo, Kecamatan Karangmojo itu kini didatangi ribuan orang dalam hitungan hari. Ketenarannya bahkan melebihi Gua Kalisuci di Kecamatan Semanu yang lebih dulu menawarkan konsep wisata serupa.

Sebuah konsep wisata yang menawarkan sungai bawah tanah dan ornamen gua dengan menyusurinya menggunakan ban dalam. Konflik di Pindul tidak muncul ketika ribuan orang belum mengunjunginya dan miliran rupiah mengalir darinya.

Contoh konflik objek wisata tidak hanya antara pemilik lahan dan masyarakat. Di Pantai Pulang Syawal atau yang juga kerap disebut dengan Pantai Indrayanti, pertentangan sempat terjadi antara pemerintah, masyarakat dan swasta selaku pengelola.

Swasta yang awalnya membeli hak milik tanah Sultan Ground di sekitar pantai dan menjadikan Pulang Syawal menjadi bersih justru ditolak pemerintah dengan sejumlah alasan. Mulai dari bentang alam yang tidak bisa diprivatisasi swasta sampai persoalan nama pantai. Pengelola pun sempat didemonstrasi warga.

Pemerintah wajib menyelesaikan konflik yang sudah terjadi maupun potensi pertentangan yang bisa muncul di objek wisata. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan yang mengerucut pada peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Untuk menguraikan persoalan pengelolaan objek wisata dan mengatasi bibit konflik memang butuh kedewasaan dari komponen yang terlibat, yakni warga, swasta dan pemerintah, karena menyangkut uang.

Ambil contoh penanganan objek wisata Candi Prambanan. Candi yang terletak di perbatasan DIY dan Jawa Tengah itu dikelola sebuah perseroan terbatas dan pemanfaatannya melibatkan masyarakat sekitar lokasi wisata.

Karena itu, pemerintah, sektor pariwisata, pengunjung, manajemen objek wisata dan masyarakat setempat perlu bertemu untuk menetapkan rencana penggunaan lahan wisata, melestarikan nilai-nilai warisan dan tradisi setempat, sistem pengelolaan wisata berkelanjutan kemudian memaksimalkan rencana jangka panjang yang bermanfaat untuk peningkatan perekonomian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya