SOLOPOS.COM - Gubernur DIY Sri Sultan HB X (empat kiri) bersama Kapolda DIY, Danrem 072 Pamungkas, Danlanal DIY, Danlanud Adisucipto serta enam pemuka agama (Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha dan Konghucu serta sejumlah tokoh masyarakat bergandengan tangan dalam "Deklarasi Jogja Damai Tolak Intoleransi dan Radikalisme" di Bangsal Kepatihan, Jogja Rabu (14/2/2018). (Gigih M. Hanafi/JIBI/Harian Jogja)

Gerakan melawan intoleransi perlu digaungkan.

Harianjogja.com, JOGJA–Jelang Pemilu 2019 intoleransi diprediksi akan terus meningkat karena berpotensi sengaja dimanfaatkan untuk kepentingan kampanye politik. Gerakan melawan intoleransi perlu terus digaungkan di 2018 yang dikenal sebagai tahun politik ini. Sejumlah aktivis muda Nahdlatul Ulama (NU) menggelar diskusi untuk menyikapi persoalan intoleransi pada Kamis (22/2/2018).

Promosi Isra Mikraj, Mukjizat Nabi yang Tak Dipercayai Kaum Empiris Sekuler

Koordinator Nasional Pendidikan Khusus Dai Ahlus Sunnah Wal Jamaah 1926 (Densus 26) NU Umarudin Masdar menyatakan penggunaan isu agama dalam politik tidak hanya merusak proses konsolidasi demokrasi namun juga merusak pendewasaan keberagaman umat. Bahkan akhir-akhir ini radikalisme dan intoleransi terus terjadi seiring Pilpres 2019.

Menurutnya, ada hubungan yang kuat antara meningkatnya intoleransi dan radikalisme tersebut dengan semakin dekatnya pelaksanaan Pemiku 2019. “Karena isu sara, intoleransi ini potensial untuk dimanfaatkan sebagai kepentingan kampanye, maka dampaknya, intoleransi jadi meningkat,” terangnya dalam rilis yang dikirim kepada Harianjogja.com, Kamis (22/2/2018).

Wakil Sekretaris PP Lakpesdam NU ini menilai, jika kebiasaan memainkan isu intoleransi dan radikalisme itu dibiarkan, tidak hanya membuat kehidupan berpolitik menjadi rusak namun juga dapat mengiring bangsa menuju perpecahan.

Oleh karena itu, pihaknya mendorong penyelenggara pemilu serta lembaga pengawas dapat bekerja lebih maksimal dalam mengawal jalannya proses demokrasi. Kampanye dengan menyebarkan isu intoleransi, baik dilakukan secara langsung maupun media sosial harus ditindak tegas. Karena tindakan itu tidak mendidik, baik dari sisi politik maupun keagamaan.

“Pemerintah harus mewajibkan bahwa ormas-ormas harus mengakui Pancasila agar tidak muncul benih intoleransi dan radikalisme,” ujarnya.

Anggota Densus 26 NU Wahyudi berharap masyarakat, terutama calon pemilih agar lebih peduli pada isu toleransi. Serta harus berani secara tegas menolak kampanye yang mengembangkan intoleransi. Namun, sebaiknya masyarakat tidak main hakim sendiri dengan menyerahkan sepenuhnya kepada aparat penegak hukum jika ditemukan ada pihak yang memainkan isu intoleransi.

“Mari kita jadikan momentum tahun politik ini untuk melawan intoleransi, dengan melaksanakan politik yang santun, mendidik dan mencerdaskan,” ungkap dia. (*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya