SOLOPOS.COM - PAKAIAN TRADISIONAL -- Para siswa SMPN 1 Solo mengikuti proses pembelajaran dengan mengenakan pakaian tradisional. Sekolah ini sudah mulai menerapkan penggunaan pakaian tradisional tiap hari Kamis, mengikuti imbauan Pemkot Solo. (JIBI/SOLOPOS/dok)

Kamis pahing, hampir setahun terealisasi sampai saat ini masih ada sekolah yang belum menerapkan aturan tersebut.

Harianjogja.com, JOGJA-Dikeluarkannya Peraturan Walikota (Perwal) no 173 tahun 2014 tentang Penggunaan Pakaian Dinas Tradisional Gagrak Ngayogyakarta di Lingkungan Pemerintah kota Jogja setiap Kamis Pahing bagi pegawai pemerintah maupun pelajar, nyatanya tidak sepenuhnya terealisasi. Hampir satu tahun perwal dikeluarkan, masih ada sekolah yang tidak mengaplikasikannya.

Promosi Strategi Telkom Jaga Jaringan Demi Layanan Telekomunikasi Prima

Berdasarkan pantauan Harianjogja.com Kamis (8/1/2015), sejumlah siswa di beberapa sekolah tidak menggunakan pakaian yang sudah ditentukan. Kebanyakan masih menggunakan seragam sekolah. Seperti SMP N 1 Jogja, SMP N 6 Jogja dan juga SMP N 8 Jogja.

Guru Bimbingan Konseling (BK) SMP N 1 Jogja, Tri Sakti mengatakan di sekolahnya hanya guru dan karyawan saja yang memakai pakaian gagrag Jogja. Sedangkan peraturan yang mulai direalisasikan sejak April 2014 lalu itu tidak diwajibkan bagi para siswa.

“Kasihan kalau mereka harus diwajibkan memakai pakaian adat di sekolah. Paling kami hanya menerapkannya kalau Hari Kartini. Tapi kalau untuk kami (guru dan karyawan) selalu memakai,” kata Tri Sakti.

Lain dengan SD Tarakanita Bumijo. Seluruh siswa kelas I-VI, guru dan karyawan diwajibkan memakai pakaian adat Jawa. Meski terkesan seadanya tetapi unsur kejawen sangat terasa saat memasuki sekolah itu setiap Kamis Pahing. Floribertus Supriya selaku kepala sekolah mengatakan, meski tidak semua unsur yang digunakan sesuai dengan perwal tetapi setidaknya sudah ada partisipasi dari sekolah.

Untuk diketahui, pemerintah telah mengatur pakaian adat yang dikenakan setiap Kamis Pahing baik untuk putra maupun putri. Untuk putra, memakai atasan surjan bahan dasar lurik, blangkon batik cap atau tulis, kain atau jarik batik yang diwiru biasa serta berlatar warna hitam atau putih, menggunakan setagen atau lonthong, kawus timang, keris atau duwung dan menggunakan selop. Sedangkan putri harus menggunakan baju kebaya tangkepan, kain jarik seperti putra, rambut menggunakan gelung tengkuk, dan alas kaki selop atau cenela.

Meski jauh dari unsur Perwal, Floribertus setidaknya sudah mengajak warga sekolahnya untuk mencintai budaya. Ia mengatakan awalnya kebiasaan menggunakan pakaian adat dimulai guru dan karyawan. “Lama-kelamaan, orang tua pada tanya, anak-anaknya kapan,” tutur Floribertus menirukan ungkapan beberapa orang tua. Dan mulai semester genap ini, para siswa sudah mulai diwajibkan.

“Kami akan terus tinjau ulang terutama untuk anak kelas I dan II karena mereka masih terlalu kecil. Lagipula, anak seusia mereka itu sedang memiliki tingkat keaktifan yang besar,” jelasnya.

Pihaknya menjelaskan, ketetapan Perwal tentang pemakaian adat Yogyakarta tidak hanya dilihat dari unsur budaya.

“Nilai yang bisa dipetik itu adalah upaya pengendalian diri. Menggunakan jarik, otomatis pergerakan kita jadi terbatas. Dari situ harapannya sikap kita juga lebih tertata dan terkendali,” tuturnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya