Jogja
Sabtu, 11 Maret 2017 - 09:21 WIB

KAMPUS JOGJA : DIY Bebas Perguruan Tinggi Abal-Abal

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Inspeksi Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Muhammad Nasir saat ujian mandiri Undip di Jakarta, Minggu (26/7/2015). (Dedi Gunawan/JIBI/Bisnis)

Kampus Jogja terus diperbaiki kualitasnya

Harianjogja.com, JOGJA — Menteri Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi (Menristek Dikti) Mohamad Nasir menyatakan sejauh ini Jogja bebas dari perguruan tinggi abal-abal. Dari total 243 perguruan tinggi yang sempat dinonaktifkan tahun lalu, 130 di antaranya sudah ditutup.

Advertisement

Baca Juga : KAMPUS JOGJA : UNU Diresmikan, 5 Fakultas & 11 Prodi Siap Menerima Maba

“Sisanya masih dalam perbaikan. Yang jelas Jogja tidak ada, Jogja bebas dari perguruan tinggi abal-abal,” kata Nasir, seusai meresmikan Universitas Nahdlatul Ulama (UNU) di Jalan Lowanu, Sorosutan, Umbulharjo, Jumat (10/3/2017).

Nasir mengatakan bersih-bersih perguruan tinggi abal-abal tidak hanya perguruan tinggi yang tidak memiliki izin operasi. Namun juga perguruan tinggi yang memiliki izin namun tidak melakukan pembelajaran dengan benar.

Advertisement

“Misalnya tidak ada aktivitas pembelajaran tapi mengeluarkan ijazah,” ujar dia.

Saat ini Kemenristek Dikti juga masih membina sejumlah kampus agar mengikuti semua tahapan yang sudah ditentukan. Nasir menambahkan, tahun ini pihaknya juga terus menggenjot semua guru besar di perguruan tinggi untuk meningkatkan publikasi atau karya ilmiah level internasional karena karya guru besar masih tertinggal dengan negara lain di Asia Tenggara.

Indonesia masih menempati urutan keempat di Asia Tenggara dalam publikasi ilmiah kalah dari Tailand, Singapur, dan Malaysia. Saat ini, kata dia, publikasi ilmiah Indonesia masih di angka 11.279.

Advertisement

“Kita proyeksikan tahun ini bisa menambah lima ribu publikasi ilmiah maka kita bisa kalahkan Thailand yang di angka 13.000,” kata Nasir.

Setiap tahun pihaknya menargetkan ada 5.000 karya ilmiah level internasional yang dihasilkan. menurut dia, seorang guru besar minimal harus menghasilkan satu karya ilmiah setiap tahun. Karena itu, Kemenristek Dikti masih mempertahankan tunjangan kehormatan dan tunjangan sertifikasi guru besar, kecuali untuk tunjangan rektor yang menjabat akan ditinjau ulang jika tidak menghasilkan karya ilmiah.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif