SOLOPOS.COM - Ilustrasi TKI (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Kapal TKI Tenggelam menjadi perhatian banyak pihak.

Harianjogja.com, JOGJA – Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan pentingnya reformasi dalam manajemen penyaluran tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri.

Promosi Mi Instan Witan Sulaeman

(Baca Juga : Kapal TKI Tenggelam, 17 Orang Tewas)

Pakar Migrasi Internasional PSKK UGM Sukamdi menyampaikan kendati terhitung sangat terlambat, insiden berulang ini harusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk bergerak cepat memperbaiki manajemen penyaluran TKI ke luar negeri. Sukamdi kembali mengatakan, pemerintah jangan lagi lalai. Alasannya Jumlah TKI serta kontribusinya terhadap negara tidak bisa dipandang sebelah mata.

Data Penempatan Tenaga Kerja Indonesia 2011-2015 yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) menunjukkan ada lebih dari 2,2 juta lebih  penduduk yang pergi meninggalkan Indonesia untuk bekerja di luar negeri.

Jumlah ini bisa jadi lebih banyak mengingat banyak TKI yang tidak memiliki dokumen resmi dan pergi melalui jalur-jalur keberangkatan ilegal. Selain itu, data BNP2TKI juga menunjukkan remitansi atau aliran uang dari TKI pada 2015 mencapai 8,65 miliar dollar AS atau lebih kurang setara dengan Rp119,7 triliun.

Hal ini bahkan menempatkan Indonesia sebagai negara penerima remitansi terbesar keempat di dunia.

Sukamdi menambahkan, satu hal yang seringkali luput adalah persoalan biaya pelatihan yang harus dikeluarkan oleh para TKI kepada perusahaan penyalur tenaga kerja.

Hasil penelitian Migrating out of Poverty yang dilakukan oleh PSKK UGM bersama dengan Asia Research Institute, National University of Singapore 2013 lalu menunjukkan, sebagian besar remitansi digunakan untuk memenuhi kebutuhan dasar atau basic needs (35 persen) serta biaya pendidikan anak (26 persen). Alokasi untuk menabung (saving) bahkan investasi minim sekali karena gaji mereka harus dipotong lagi untuk membayar biaya pelatihan.

“Oleh karena itu, pelatihan bagi pekerja migran sebaiknya diambil alih oleh negara, melalui Kementerian Pendidikan. Mengapa? Karena biaya paling besar dalam pengiriman migran adalah pelatihan guna mempersiapkan tenaga kerja ke luar negeri. Seharusnya biaya ini tidak ditanggung oleh migran,” jelas dia.

Sebagai gambaran, untuk melunasi utang biaya pelatihan, seorang buruh migran setidaknya harus bekerja selama enam sampai delapan bulan agar bisa lunas. Apabila dia bekerja dengan kontrak dua tahun, maka 1/3 waktunya bekerja hanyalah untuk mengembalikan hutang biaya pelatihan. Tidak banyak keuntungan yang diperolehnya, terlebih untuk bisa keluar dari kemiskinan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya