Jogja
Jumat, 8 Januari 2016 - 08:55 WIB

KARYA SASTRA : Ini Beda Novel Tahun 1980-1990 Dibanding Sekarang

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Panduan Informasi dan Inspirasi

Karya sastra dapat menjadi media menggambarkan suatu situasi sosial.

Harianjogja.com, SLEMAN-Kekayaan budaya nusantara hingga persoalaan sosial ditiap daerah dapat direkam dalam karya sastra novel.

Advertisement

Adapun novel Indonesia lawas seperti Para Priyayi karya Umar Karyam, Canting karya Arswendo Atmowiloto, atau Ronggeng Dukuh Paruk tulisan Ahmad Tohari merupakan karya sastra yang kuat nuansa budaya jawa. Hal ini tampak dari gambaran latar tempat, kesenian, kepercayaan masyarakat, status sosial, bahasa daerah, atau penamaan latar waktu, tumbuhan, dan hewan.

“Pada tahun 1980-an dan 1990-an awal, novel Indonesia digairahkan oleh sesuatu yang disebut dengan warna lokal atau sensibilitas lokal, dan para pengarang cenderung mengangkat budaya daerah sesuai dengan latar belakang sosial-budaya demografinya,” ujar dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), Hartono, saat mengikuti ujian terbuka program doktor, Senin (4/1/2016) di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) seperti dikutip dari rilis yang Harianjogja.com, terima.

Dalam trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, warna lokal Banyumasan ditampilkan melalui cerita seputar kehidupan seorang ronggeng, dengan penggambaran latar yang khas di sebuah dukuh kecil yang belum terpengaruh budaya-budaya modern.Di sepanjang cerita pembaca dapat menangkap unsur-unsur budaya lokal seperti kepercayaan warga terhadap roh leluhur, kebiasaan-kebiasaan warga, juga beragam isu sosial di masyarakat, termasuk soal prostitusi yang melekat dengan tradisi ronggeng.

Advertisement

Menguatnya penggunaan warna lokal Jawa dalam periode tersebut, menurutnya,  sebagai usaha menghindari kecurigaan pemerintah atau penguasa.Dalam masa tersebut pemerintah kerap melakukan sensor terhadap karya sastra yang dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban masyarakat. Para penulis kemudian memilih untuk bercerita mengenai pengalaman-pengalaman lokal dalam lingkup daerah yang kecil, agar novel yang ditulis dapat lolos dari sensor pemerintah.

Selain itu, penggunaan warna lokal juga bertujuan  mengembangkan budaya lokal dan meningkatkan kesadaran masyarakatakan kekayaan  budaya nasional.

“Melalui warna lokal dalam karya sastra, masyarakat dapat memperoleh pendidikan dan pesan moral yang baik, sehingga rasa saling menghormati dan menghargai antar pendukung budaya juga dapat terjalin dengan baik,” jelas Hartono.

Advertisement

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif