SOLOPOS.COM - Foto ilustrasi upaya pencegahan demam berdarah dengan fogging (JIBI/Solopos/Antara/Dedhez Anggara)

Kasus DBD Gunungkidul memakan korban jiwa. Tiga penderita meninggal dunia

Harianjogja.com, GUNUNGKIDUL-Pada 2015, Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Gunungkidul memiliki target maksimal hanya ada empat kematian akibat Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) atau yang umum disebut Demam Berdarah Dengue (DBD), hingga tahun berakhir.

Promosi Jaga Jaringan, Telkom Punya Squad Khusus dan Tools Jenius

Disayangkan, hingga Agustus 2015, dilaporkan sudah ada tiga kematian akibat penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk Aedes aegypti tersebut.

Kepala Dinkes Kabupaten Gunungkidul, Agus Prihastoro menerangkan bahwa saat ini Gunungkidul memasuki masa siklus lima tahunan DBD, dari tiga kasus kematian, ia memproyeksikan telah terjadi pada Juni atau Juli 2015 lalu.

“Saya sampai dua hari sekali mengecek langsung data Bidang Pengendalian Penyakit, agar jangan ada lagi yang bertambah, karena secara teori siklus ini menyebabkan peningkatan jumlah kasus,” ujarnya, Kamis (6/8/2015).

Dari total 353 kasus DBD pada 2013 di Gunungkidul, ada satu kasus meninggal dunia. Sementara itu, dengan total 379 kasus, ada dua kasus meninggal dunia, pada 2014. Kemudian, mulai Januari hingga awal Agustur 2015 sudah tercatat tiga kasus meninggal dunia.

Pihaknya kini lebih waspada dalam melihat kematian pasien demam berdarah. Karena dari hasil tes, dapat dijumpai kematian tidak murni disebabkan oleh penyakit DBD, melainkan penyakit penyerta.

Di samping itu, Dinkes juga mulai menyosialisasikan upaya pencegahan di kalangan masyarakat mengenai pemberantasan sarang nyamuk, bukan hanya lewat pengasapan (fogging). Karena anggapan dan kekhawatiran selama ini, ketika di suatu wilayah banyak yang terkena DBD, berarti sudah dibutuhkan fogging. Padahal banyaknya jentik atau pasien yang terkena DBD di suatu wilayah tidak selalu bermakna tempat itu memerlukan fogging.

“Nyamuk saat ini memiliki kekebalan yang kuat, kalau disemprot ternyata bukan nyamuk DHF [DBD], malah menjadi kuat. Penentuan dilakukan fogging atau pengasapan diputuskan oleh ahlinya, selain itu kami selalu mengecek secara komprehensif kondisi pasien, hingga ke riwayat aktivitas mereka,” paparnya.

Bisa saja terjadi, pasien DBD bertempat tinggal di Wonosari, padahal dihitung dari masa inkubasi penyakit, ternyata terbukti dia bukan terkena gigitan nyamuk DBD saat di Wonosari, melainkan saat kuliah atau ngekos di luar Wonosari.

Terpisah Wakil Ketua Komisi D Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Gunungkidul, Heri Nugroho menyebutkan bahwa untuk mengatasi permasalahan terkejarnya target Dinkes, pihaknya melihat dari sisi anggaran dan non anggaran.

Pertama, apabila diperlukan anggaran, maka Dinkes dapat menggunakan dana ‘mendahului anggaran’, sebelum ada penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan (APBD P) 2015, Dinkes dapat menggunakan sejumlah dana, apabila dirasa memang darurat. Dana ini kemudian bisa dianggarkan pada pembahasan APBD P 2015.

Kedua, apabila kasus tadi masuk dalam kategori bencana, karena ketika DBD menjadi wabah maka sudah dapat disebut bencana, ada anggaran kedaruratan yang dimiliki Bupati untuk bisa digunakan.

“Ketiga, kami terus mendorong Dinkes untuk terus memantau di lapangan, lakukan tindakan preventif agar kasus tidak semakin menyebar ke mana-mana atau ke wilayah lebih luas lagi. Apalagi mereka sudah paham bahwa sudah siklus lima tahunan,” sebutnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya