SOLOPOS.COM - Arend Laurence Mapanawang usai ikut dalam ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM, Kamis (31/12/2015). (JIBI/Harian Jogja/dok. Humas UGM)

Kasus malaria yang berujung kematian perlu segera ditekan.

Harianjogja.com, SLEMAN – Negara Indonesia masih menyumbangkan kasus kematian akibat Malaria. Data WHO 2014 mencatat terdapat 198 juta kasus malaria terjadi secara global dan menjadi penyebab 584.000 kematian di tahun 2013.

Promosi Selamat Datang di Liga 1, Liga Seluruh Indonesia!

Di Indonesia sekitar 35% penduduknya tinggal di daerah berisiko terinfeksi malaria dan dilaporkan sebanyak 38.000 orang meninggal per tahun karena malaria berat akibat Plasmodium Falciparum. Wabah malaria hampir terjadi setiap tahun di berbagai wilayah endemik Indonesia.

Beberapa wilayah telah dikategorikan sebagai daerah zona merah penderita malaria, seperti Nusa Tenggara Timjur, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Maluku Utara, Kalimantan Tengah, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, dan Bengkulu. Berikutnya, Jambi, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Gorontalo, serta Aceh.

“Dari 293 kabupaten/kota di Indonesia, 167 kabupaten diantaranya berada wilayah endemik malaria. Dan hampir semuanya memiliki korban jiwa, “ kata Arend Laurence Mapanawang lewat rilis ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran UGM, Kamis (31/12/2015).

Arend menambahkan terapi kombinasi berbasis artemisinin (ACT) merupakan terapi yang banyak digunakan dalam pengobatan pasein yang terinfeksi plasmodium falciparum. Laporan WHO tahun 2010 menyebutkan penerapan terapi ACT dapat menekan kasus malaria secara global. Namun, terapi ini tidak berhasil untuk pengobatan pasien malaria di beberapa daerah di Thailand dan Kamboja.

Kegagalan terapi ACT ini mendorong WHO untuk melakukan penyempurnaan terhadap terapi tersebut dengan kombinasi dehidroartemisinin dan piperakuin (DHP). Hasilnya, terapi ini menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan malaria yang lebih baik.

Lagi-lagi, terapi ini belum mampu memberikan efek farmakologis atau tingkat kesembuhan yang maksimal. Jadi masih ada risiko mengalami kambuh kembali.

Ketua STIKES Halamahera itu mengatakan pengobatan malaria di Indonesia dilakukan dengan penerapan kombinasi DHP dengan penambahan primakuin. Terapi yang diprogramkan pemerintah sesuai Permenkes tahun 2013 ini telah diterapkan di Halmahera.

“Penerapan terapi kombinasi ini dikarenakan Halmahera termasuk dalam satu daerah dengan kasus malaria yang cukup tinggi. Namun, tingkat keberhasilan penerapan kombinasi DHP dan primakuin membuat jumlah pasien malaria yang sembuh semakin meningkat,” jelas Arend.

Arend melakukan uji farmakokinetika pengobatan dengan kombinasi dehidroartemisinin, piperakuin, dan primakuin. Hasilnya, penderita malaria falciparum tidak memiliki komplikasi saat diterapi dan sangat efektif untuk mengobati pasien malaria falciparum.

Terapi kombinasi DHP dan primakuin menunjukkan tingkat kesembuhan pasien malaria falciparum mencapai 100%. Sementara dengan terapi DHP tingkat kesembuhan penderita malaria falciparum mencapai 95% atau masih memiliki risiko kumulatif kambuh sebesar 5%.

“Sejauh ini belum ada penelitian yang menunjukkan adanya resistensi terhadap kombinasi obat tersebut,” jelasnya menutup ujian terbukanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya