SOLOPOS.COM - Salah seorang warga tengah melintas di area peruntukan kawasan industri, Dusun Banyakan II, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kamis (21/5/2015) siang. (JIBI/Harian Jogja/Arief Junianto)

Kawasan industri Bantul masih berpolemik mengenai aturan sewa menyewa tanah.

Harianjogja.com, BANTUL-Polemik sewa menyewa tanah pengarem-arem Desa Srimulyo untuk kepentingan Kawasan Industri Piyungan (KIP) kini memasuki babak baru. Tak hanya menunggu sikap aktif pemerintah desa (pemdes) Srimulyo untuk mensosialisasikan kejelasan KIP itu sendiri, para mantan pamong kini juga mulai mempersoalkan landasan hukum proses sewa menyewa itu. (Baca Juga : KAWASAN INDUSTRI BANTUL : Sudah Dicanangkan tahun 2011, Apa Kabar Kawasan Industri Piyungan?)

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Sumianto, salah satu mantan pamong Desa Srimulyo. Saat ditemui di salah satu kediaman mantan pamong Desa Srimulyo lainnya, ia membeberkan sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh Wajiran.

Salah satunya adalah penerbitan Surat Keputusan (SK) Lurah Desa Srimulyo yang isinya mencakup luasan tanah pengarem-arem yang diterima oleh mantan pamong. Hal inilah yang menurutnya janggal.

Pasalnya, sebelum terbit SK itu, pihak mantan pamong sudah secara resmi menandatangani surat kerelaan agar tanah pengarem-arem miliknya disewakan untuk kepentingan KIP. Dengan terbitnya SK itu, pihaknya kini kebingungan terhadap status tanah miliknya. “Kalau nanti kami terima uang sewa, uang itu dasar hukumnya apa,” tegasnya.

Menurutnya, jika memang tanahnya sudah disewakan untuk KIP, seharusnya dalam SK itu dicantumkan keterangan luasan yang disewa sekaligus besaran nilainya. Dengan begitu, ketika ia menerima uang sewa, pihaknya memiliki kekuatan hukum.

Ditegasknya, dengan adanya ada SK itu, pihaknya justru bisa menjadikan SK itu pegangan hukum jika tanahnya disewa untuk KIP. Hal itu tak berlebihan, pasalnya, hingga kini pihaknya sama sekali belum menerima uang sepeser pun dari pihak pemdes Srimulyo terkait sewa lahan itu. “Kalau yang pamong desa kabarnya sih sudah terima sebesar Rp6 juta. Tapi kami [mantan pamong] sama sekali belum,” tegasnya.

Setidaknya, hingga kini ada 15 orang mantan pamong yang masih belum menerima haknya. Tak hanya itu, ia pun mengeluhkan tak adanya upaya pendekatan apapun dari pihak Lurah Desa Srimulyo kepada para mantan pamong.

Ia menegaskan, tak akan melakukan tindakan apapun, baik itu tindakan hukum, maupun bersikap aktif mendatangi Lurah Desa untuk menanyakan perihal transparansi sewa menyewa lahan pengarem-arem itu. Menurutnya, sebagai mantan pamong, sudah seharusnya jika pihak Lurah Desa mengundang mereka dalam setiap pertemuan yang membahas tentang KIP. “Selama ini sama sekali tidak ada,” ucapnya.

Hal itu terbukti ketika pihak Pemdes Srimulyo menggelar sosialisasi KIP dengan menghadirkan pihak pengelola kawasan, Jumat (9/10/2015) malam lalu. Ketika itu, pihak Pemdes hanya mengundang 150 orang warga Desa Srimulyo dan beberapa pamong desa. “Saya sudah meminta Pak Carik [Sekretaris Desa] untuk mengundang mereka [mantan pamong] kok, tegasnya Lurah Desa Srimulyo Wajiran saat dihubungi, Minggu (11/10) sore.

Munculnya gelombang protes terhadap langkah pemerintah desa (pemdes) Srimulyo terkait pembebasan lahan guna kepentingan Kawasan Industri Piyungan (KIP) menjadi salah satu alasan pemdes membentuk tim mediator.

Wajiran mengakui adanya beberapa pihak yang masih mempersoalkan langkah pemdes dalam menyewakan tanah desa seluas total 110 hektar yang ada di wilayah Desa Srimulyo. Beberapa pihak itu diakunya memang masih mempersoalkan kejelasan luasan tanah desa yang menjadi haknya. “Mereka adalah beberapa eks pamong yang mempersoalkan luasan lahannya,” imbuh Wajiran.

Tim mediator itu sendiri dibentuknya usai menggelar sosialisasi pembangunan (KIP) di Balai Desa Piyungan, Jumat (9/10) malam lalu. Ketika itu, pihaknya menghadirkan setidaknya 150 masyarakat dan pamong Desa Srimulyo. “Banyak hal yang kami sosialisasikan. Khususnya terkait dengan penyediaan lahan untuk KIP tersebut. Itulah sebabnya kami lantas sepakat untuk membentuk tim mediator,” ujarnya.

Terkait ketersediaan tanah, ia mengklaim telah merampungkan pengukuran tanah seluas 105,1 hektar. Begitu pula dengan pembayaran uang sewanya, Wajiran mengklaim telah membayarnya lunas kepada para pemilik tanah senilai Rp24 juta per hektar per tahun yang dibayarkannya dengan penghitungan per bulan.

Seperti diberitakan, pihak mantan pamong memang mempersoalkan transparansi proses sewa menyewa yang dilakukan pemdes Srimulyo terhadap tanah desa Srimulyo untuk kepentingan KIP. Setidaknya, pihak Pemdes Srimulyo menyiapkan 84 hektar tanah pelungguh, 13 hektar tanah pengarem-arem, dan sisanya merupakan tanah kas desa. “Sampai saat ini, yang sudah diukur seluas 105,1 hektar,” tegas Wajiran.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya