SOLOPOS.COM - (JIBI/Harian Jogja/Hengky Irawan)

Pembedaan hak tanah berdasar pribumi dan nonpribumi dinilai sudah tidak relevan.

Harianjogja.com, JOGJA–Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jogja menolak gugatan warga bernama Handoko atas diskriminasi kepemilikan tanah di DIY. Keputusan ini dinilai pakar hukum diskriminatif.

Promosi Bukan Mission Impossible, Garuda!

Keputusan hakim PN Jogjaitu kian menyulitkan warga keturunan (termasuk keturunan Tionghoa) yang disebut Pemerintah DIY sebagai warga nonpribumi untuk memiliki tanah di Bumi Mataram.

Handoko menggugat Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Badan Pertanahan Nasional (BPN) DIY karena masih memberlakukan Instruksi Wakil Gubernur DIY No.K.898/I/A/-/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian hak Atas Tanah Kepada Seorang WNI Non Pribumi.

Baca juga : Hakim Putuskan Warga Tionghoa Tak Bisa Miliki Tanah di DIY

“Menolak gugatan penggugat, menghukum penggugat membayar biaya perkara yang ditaksir Rp407.000,” kata Ketua Majelis Hakim PN Jogja, Cokro Hendro Mukti, saat membacakan putusan perkara di PN Jogja, Selasa (20/2/2018).

Dalam pertimbangannya, Hakim menilai bahwa Instruksi Wakil Gubernur DIY 1975 bukanlah produk perundang-undangan, melainkan produk kebijakan, sehingga perbuatan tergugat Sultan HB X dan Kepala BPN DIY yang dianggap penggugat melanggar hukum, tidak bisa diuji melalui peraturan perundang-undangan lebih tinggi.

Sebagai produk kebijakan, kata Hakim, bisa diuji melalui asas-asas umum pemerintahan yang baik. Hakim berpendapat perbuatan tergugat memberlakukan Isntruksi Wakil Gubernur 1975 tidaklah bertentangan karena bertujuan untuk melindungi kepentingan umum masyarakat yang ekonominya lemah.

Selai itu, DIY juga dinilai memiliki Undang-undang Nomor 12/2013 tentang Keistimewaan yang berbeda dengan daerah lain. Keistimewaan DIY dengan tegas memberikan kewenangan keistimewaan di bidang pertanahan serta untuk menjaga kebudayaan Kasultanan dan menjaga keseimbangan pembangunan dalam rangka pengembangan perencanaan pembangunan di masa yang akan datang.

“Menurut pendapat Majelis Hakim, tidak tepat penggugat menggugat Instruksi Wakil Gubernur No.K.898/I/A/-/1975,” tambah Anggota Majelis Hakim PN Jogja, Sri Harsiwi.

Pakar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII), Ni’matul Huda berpendapat pemberlakuan Instruksi Wakil Gubernur 1975 diskriminatif. Ia menilai instruksi tersebut sudah tidak relavan diterapkan sekarang.

Ni’matul mengatakan instruksi itu sebenarnya sudah tidak berlaku sejak diberlakukannya Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No.5/1960 dan Keputusan Presiden No.33/1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA. Selain itu juga ada ada Permendagri No.66/84 dan Perda DIY No.3/1984 tentang Pemberlakuan Sepenuhnya UUPA.

Namun, faktanya Instruksi Wakil Gubernur DIY 1975 masih diberlakukan sampai saat ini. “Menurut saya pemberhentian sementara instruksi itu malah lebih bagus,” ujar Ni’matul. Ia menambahkan dalam UU Keistimewaan DIY tidak mengatur soal kepemilikan lahan pribumi dan nonpribumi, kecuali hanya mengatur lahan SG dan PAG.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya