SOLOPOS.COM - Ilustrasi pembangunan gedung pencakar langit. (Solopos-Sunaryo Haryo Bayu)

Harianjogja.com, JOGJA- Supriyo, Ketua Umum Asosiasi Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi (A2K4), mengemukakan peraturan perundangan tentang keselamatan kerja telah ada sejak 1970.

Kemudian, lanjutnya, pada 1976 juga sudah ada SKB antara Menteri PU dan Menaker ketika itu yang mengatur tentang keselamatan kerja tenaga kerja di lingkungan konstruksi.

Promosi Banjir Kiper Asing Liga 1 Menjepit Potensi Lokal

Aturan lebih rigid, lanjutnya, dapat dilihat melalui Peraturan Pemerintah tentang Sistem Manajemen Keselamatan Kerja Konstruksi (SMK3). Di sisi lain, masih ada Permen PU No. 9/2008 yang mengatur tentang keselamatan kerja di bidang konstruksi, terutama di lingkungan pekerjaan umum. Kemudian masih ada PP No. 50/2012.

“Semua aturan itu mengatur segala sesuatu untuk pekerjaan konstruksi itu, mengatur bagaimana supaya setiap kerja konstruksi harus dijaga dan dilindungi dari kecelakaan kerja. SMK3 itu mengatur proses supaya jangan terjadi kecelakaan. Bukan mengatur setelah terjadi kecelakaan. Aturannya banyak, lengkap,” ujarnya, baru-baru ini.

Namun demikian, ujarnya, pada praktiknya di lapangan masih terdapat fakta para pekerja yang tidak memenuhi aturan keselamatan tersebut.

Paling tidak, menuruti aturan keselamatan yang paling standar dengan mengenakan helm dan sepatu khusus di lingkungan kerja konstruksi, serta mengenakan sabuk pengaman atau gantungan untuk jenis-jenis pekerjaan tertentu di tempat yang tinggi. Tujuannya jelas, untuk menghindari kemungkinan terjadinya kecelakaan atau meminimalkan risiko jika terjadi kecelakaan.

Biasanya, ujarnya, mandor atau penyelenggara konstruksi akan melakukan briefing awal kepada para pekerja tentang tugas dan risiko tugas masing-masing. Pada briefing awal tersebut, pekerja akan mendapatkan alat-alat standar pengamanan diri yang harus digunakan selama di lingkungan kerja.

“Nah, kecelakaan itu biasanya karena keteledoran, ketidakdisiplinan, tidak mau memenuhi aturan. Orang-orang kita biasanya tidak mau pakai alat pengaman diri [APD]. Alasannya ribet,” katanya.

Akibatnya berbagai macam risiko dapat terjadi. Risiko paling ringan menginjak paku, tetapi bisa lebih dari itu seperti tertimpa sesuatu atau bahkan jatuh dari ketinggian dan meninggal dunia.

“Kalau sudah terjadi, perusahaannya, pelaksananya, dan mandornya juga bisa kena [sanksi],” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya