SOLOPOS.COM - Tangkapan layar YouTube Paniradya Kaistimewaan UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan DIY Sebagai Pondasi Keistimewaan oleh Paniradya Kaistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Selasa (18/7/2023). (Istimewa).

Solopos.com, SOLO — Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan harga mati yang perlu dijunjung tinggi. Hal itu harus dimanfaatkan dengan baik tanpa membatasi demokrasi. 

Keistimewaan tersebut juga menjadi peluang pelajat Jogja untuk mengembangkan diri. Hal itu disampaikan Guru Sejarah SMA 1 Seyegan Yogyakarta, Susanto, dalam diskusi berjudul Sinau Sejarah — UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan DIY sebagai Pondasi Keistimewaan yang disiaran langsung dalam YouTube Paniradya Kaistimewaan, Selasa (18/7/2023).

Promosi Pemilu 1955 Dianggap Paling Demokratis, Tentara dan Polisi Punya Partai Politik

Susanto juga menegaskan anak muda perlu mengetahui pentingnya UU No 3 Tahun 1950 dan UU No 13 Tahun 2012.

Dekan Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram Jakarta, Kelik Endro Suryono, menambahkan keistimewaan DIY lahir dari Undang-Undang (UU) No 3 Tahun 1950.

“Kemudian saat itu belum terlalu detil, akhirnya lahir juga UU No 13 Tahun 2012 mengenai Keistimewaan DIY yang memberikan Jogja kewenangan pemerintahan. Ada lima poin keistimewaan yang tidak dimiliki daerah lain, yaitu pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Pertanahan, Kebudayaan, Tata Ruang, dan Kelembagaan. Selain kewenangan, pemerintah DIY juga mendapatkan tambahan anggaran,” papar Kelik dalam siaran YouTube Paniradya Kaistimewaan berjudul Sinau Sejarah — UU No 3 Tahun 1950 Tentang Pembentukan DIY sebagai Pondasi Keistimewaan, Selasa (18/7/2023).

Menurut Kelik, sejarah mencatat Soekarno pernah dibuang di Jogja oleh Belanda. Hal itu membuat pemerintahan NKRI dilaksanakan di Jogja oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Keraton Jogja, dan seluruh rakyatnya.

Menurutnya, hal itu juga membuat utang pemerintah NKRI ke Jogja tidak dapat dihitung. Terlebih karena Jogja adalah satu-satunya daerah yang tidak mau dibentuk menjadi negara boneka oleh Belanda.

Bentuk keistimewaan tersebut salah satunya adalah pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dari Sultan Kesultanan Jogjakarta dan Pakualaman Jogjakarta yang berkuasa.

Namun menurut Kelik, pemilihan mereka tetap dilakukan setiap lima tahun sekali. Dia berpendapat, demokrasi tersebut sesuai dengan cara asli Indonesia berupa musyawarah mufakat, bukan pemilihan umum atau pemilu.

Kepala Bagian Pelayanan dan Umum Dinas Paniradya Keistimewaan DIY, Ariyanti Luhur Tri Setyorini, mengatakan bergabungnya Kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman Yogyakarta ke NKRI menunjukkan kepercayaan tinggi dari kedua raja terhadap negara yang baru lahir pada 17 Agustus 1945.

Menurutnya, hal ini patut menjadi pegangan masyarakat Jogja untuk terus percaya dengan pemerintahan NKRI agar terus maju bersama. Dia juga mengatakan saat ini wilayah Jogja adalah gabungan dari kekuasaan Kasultanan Jogjakarta dan Pakualaman Jogjakarta.

Sementara itu Anggota DPRD DIY Komisi D, Imam Priyono D Putranto, mengatakan Keraton Jogja juga memiliki kepercayaan luar biasa kepada NKRI, sehingga saat ini hubungan tersebut patut untuk terus dijaga.

“Demokrasi tetap ada, Sultan dan Pakualaman ditunjuk sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur karena mereka sudah sejak awal memikirkan bagaimana negara ini berjalan setelah kemerdekaan. Pemilu pertama kali juga diselenggarakan di Jogja,” papar Imam.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya