SOLOPOS.COM - Foto ilustrasi. (JIBI/Harian Jogja/Antara)

Kekerasan Jogja yang mengakibatkan satu nyawa melayang dilakukan pelajar.

Harianjogja.com, JOGJA – Dinas Pendidikan Kota Jogja menyatakan  sanksi akademis yang diberikan kepada para pelajar yang melakukan tindak kriminalitas tidak bertujuan untuk menghancurkan masa depan mereka.

Promosi Semarang (Kaline) Banjir, Saat Alam Mulai Bosan Bersahabat

Baca Juga : KEKERASAN JOGJA : Bebas dari Penjara Disarankan Masuk PKBM

Kepala Dinas Pendidikan Kota Jogja Edy Hari Swasana menegaskan, setelah menjalani masa hukuman penjara para pelajar yang menjadi terpidana ini masih bisa melanjutkan sekolah. Hanya saja mereka tidak bisa untuk tetap menempuh pendidikan di sekolah formal. Para pelajar pelaku tindak kriminal ini disarankan untuk melanjutkan studi non formal lewat Pendidikan Kesetaraan di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM).

Edy berdalih, PKBM jelas menjadi wahana efektif karena pendidikan ini tidak mengenal batasan usia. Di usia yang sudah tidak produktif pun orang bisa menempuh pendidikan di sini apabila memang masih memiliki motivasi belajar.

“Nah, selanjutnya tinggal menyesuaikan saja. Bagi mereka yang terhenti masa studinya di tingkat SMP tinggal melanjutkan di PKBM lewat program Kejar Paket B. Demikian halnya yang putus ketika di bangku SMA ya tinggal ikut Kejar Paket C,” paparnya menjabarkan, Rabu (15/3/2017)

Akses Pendidikan Diberikan

Terpisah Sosiolog Kriminalitas Universitas Gadjah Mada (UGM) Suprapto menyatakan, sedianya pemerintah daerah tetap mengakomodir pendidikan para pelajar yang tersangkut kasus pidana ini ketika mereka sudah bebas dari penjara. Memberikan catatan hitam sehingga mereka tidak bisa diterima di sekolah mana pun justru akan menimbulkan masalah baru yang lebih pekat bagi masyarakat.

“Ketika keluar dari penjara, mereka tidak bisa sekolah di mana pun, akhirnya timbul frustasi. Mereka bingung mau ngapain. Ujung-ujungnya mereka menjadi preman karena sudah tidak ada jalan lain untuk melanjutkan hidup yang lebih baik,” papar dia.

Dari pertimbangan itu, Suprapto berharap agar pemerintah daerah itu membuat wadah atau tempat rehabilitasi yang nantinya bisa menampung anak-anak ini selepas keluar dari penjara.

“Jangan sampai anak-anak ini lantas menjadi disorientasi. Harus tetap dibina melalui tempat rehabilitasi yang juga menyediakan wahana untuk mendukung keinginan mereka tetap belajar. Sayangnya, hal ini belum terealisasikan,” jelas dia.

Jumlah pelajar di DIY yang harus mendekam di penjara akibat kasus kekerasan di jalanan cukup banyak. Sepanjang 2016 hingga Februari 2017 lalu tercatat ada 44 pelajar yang ditahan akibat aksi kekerasan dengan beragam kategori, dari penganiayaan hingga pembunuhan. Jumlah itu belum termasuk hasil tangkapan pihak kepolisian pada para pelaku pembunuhan terhadap pelajar SMP Piri di Jalan Kenari, Minggu (12/3/2017) dinihari lalu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya