SOLOPOS.COM - Duta Besar Selandia Baru untuk Indonesia, Trevor Matheson (kiri) didampingi Kepala Badan Karantina Pertanian, Banun Harpini (dua kanan) melihat proses pengepakan salak sebelum ekspor seusai MoU kerjasasama di Asosiasi Salak Prima Sembada, Desa Mardikorejo, Tempel, Sleman, Senin (23/10). (Gigih M. Hanafi/JIBI/Harian Jogja)

Produksi salak Sleman berhasil menembus pasar Selandia Baru

Harianjogja.com, SLEMAN- Prestasi petani salak pondoh yang tergabung dalam Asosiasi Salak Prima Sembada patut diacungi jempol. Bayangkan, produksi salak mereka mampu menembus pasar Selandia Baru yang dikenal memiliki standarisasi pangan paling tinggi.

Promosi Vonis Bebas Haris-Fatia di Tengah Kebebasan Sipil dan Budaya Politik yang Buruk

Senyum lepas Maryono menghiasi bibirnya selama kegiatan launching pengiriman ekspor pertama salak pondoh ke Selandia Baru, Senin (23/10/2017).

Tak henti-hentinya dia menjawab pertanyaan awak media seputar keberhasilannya itu. Pria yang menjadi ketua Asosiasi Petani Salak Prima Sembada itu menjelaskan, tak mudah meraih prestasi itu.

“Apalagi standar yang diterapkan New Zaeland sangat tinggi, bahkan semutpun tidak boleh terangkut, ” katanya kala itu.

Beruntung, aktivitas produksi petani salak disana mendapat perhatian banyak pihak. Seperti dari Balai Karantina Pertanian hingga Kedutaan Besar Selandia Baru di Indonesia.

“Beberapa kali Duta Besar berkunjung dan tertarik untuk mengekspor salak ke sana. Tentunya harus sesuai standarisasi negara sana, ” ceritanya.

Persiapan dilakukan selama satu tahun. Didampingi oleh Badan Karantina Pertanian. Rumah Kemas juga direnovasi agar sesuai standart yang disyaratkan pemerintah Selandia Baru. Di rumah kemas tersebut, dilengkapi beberapa peralatan pengeringan hingga pengepakan salak yang teregister itu. “Kami ajukan renovasi rumah kemas ke Kedutaan Selandia Baru dan diterima, ” kata dia.

Salak dengan kualitas ekspor, katanya betul-betul dipilih. Prosesnya juga dilakukan dengan matang. Setiap salak yang dipanen harus masuk dalam tempat pengeringan lebih dulu sebelum dilakukan proses blower.

Di sini,  posisi salak harus benar-benar bersih. Hasilnya kemudian disortir di ruang khusus, sebelum dilakukan pengepakan. “Salak kemudian dimasukkan dalam kantong jaring berisi sekitar 6-7 buah. Perbuah yang dipilih itu minim berbiji dua,” jelasnya.

Dari sisi harga jual, lanjut dia, petani salak sangat diuntungkan. Sebab ada selisih harga yang diperoleh. Jika harga pasar dalam negeri hanya dipatok Rp5.000 per kg untuk salak kualitas ekspor dihargai Rp7.000 perkg. Harga segitu langsung diterima oleh petani bukan tengkulak.

“Ke Belanda kami kirim salak per dua pekan sekali dan Prancis sepekan sekali. Antara 100 kg sampai 200 kg.  Tiongkok paling rutin juga sepekan sekali, 1-2 ton, ” paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya