SOLOPOS.COM - Ilustrasi difabel (istimewa)

Keterangan hukum yang diberikan penyandang disabilitas sering dianggap tidak valid

Harianjogja.com, SLEMAN-Kasus hukum yang melibatkan perempuan disabilitas sebagai korban sering tak terselesaikan. Aparat penegak hukum menilai keterangan kaum disabilitas tidak konsisten sehingga tidak layak menjadi keterangan hukum.

Promosi Yos Sudarso Gugur di Laut Aru, Misi Gagal yang Memicu Ketegangan AU dan AL

Divisi Advokasi Yayasan Center of Improving Qualified Acitifities in Life of People With Disabilities (Ciqal), Ibnu Sukaca, mengatakan hal itu dialami penyandang tunagrahita. Penyandang keterbelakangan mental ini dianggap memberi keterangan yang tidak konsisten.

“Pagi jawabannya apa, sore sudah beda lagi. Jawaban mereka itu oleh APH [aparat penegak hukum] dianggap bukan keterangan valid,” kata Ibnu di sela-sela Diskusi Publik “Saatnya Perempuan Penyandang Disabilitas Berani Bicara: Darurrat Kekerasan Seksula, Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual” di Pendapa Rumah Dinas Bupati, Senin (30/11/2015).

Begitu juga dengan tunarungu. Korban pelecehan seksual dengan ketunaan seperti ini membutuhkan penerjemah dalam memberi keterangan pada aparat. APH menganggap keterangan korban melalui penerjemah itu sebagai saksi dari orang lain, bukan dari korban sendiri.

“Maka jarang kasus perempuan disabilitas masuk ke ranah hukum. Mentoknya tidak ada saksi. Itu hal klise bagi kami,” jelasnya.

Kendala internal, penyandang disabilitas tidak sadar jika dirinya telah mengalami tindak kekerasan seksual. Ada yang justru menganggap tindak kekerasan itu sebagai bentuk perhatian. Misalnya saja, kata Ibnu, perempuan tunagrahita yang diajak makan seorang pria lalu dicium atau dipeluk-peluk.

Penyandang disabilitas ini tidak paham dan justru menganggap sebagai wujud kasih sayang. Lebih parahnya lagi, lanjut Ibnu, pihak keluarga hanya menerima saja tanpa melapor pihak berwajib.

Hal-hal seperti itu dapat meningkatkan jumlah kekerasan perempuan disabilitas di DIY. Ia mencatat, dari 47 kasus yang ditangani Yayasan Ciqal, presentase terbesar berasal dari Sleman.

“Penyandang disabilitas di Sleman lebih banyak dan luasannya lebih besar dibanding Bantul dan Kulonprogo yang kita tangani,” ungkap Ibnu.

Berbicara permasalahan perempuan disabilitas, kekerasan yang dialami tidak hanya seksual. Kekerasan fisik dan psikis kerap terjadi. Hariyanti, disabilitas asal Kecamatan Mlati, mengungkapkan saat mengalami kekerasan fisik dari keluarga,  ia hanya bisa pasrah.

“Kita sebagai difabel itu kadang pasrah karena sudah diperistri orang yang waras [normal]. Ibarate wis dikukup dadi milih ngalah [ibaratnya sudah dirawat jadinya mengalah],” kata dia.

Namun adanya forum disabilitas yang kerap membicarakan perlindungan hukum, ia jadi berani untuk menolak kekerasan dari keluarga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Simak berbagai berita pilihan dan terkini dari Solopos.com di Saluran WhatsApp dengan klik Soloposcom dan Grup Telegram "Solopos.com Berita Terkini" Klik link ini.
Solopos Stories
Honda Motor Jateng
Honda Motor Jateng
Rekomendasi
Berita Lainnya