Jogja
Minggu, 20 September 2015 - 01:20 WIB

KI AGENG SURYOMENTARAM : Pangeran Hilang yang Melepas Kemewahan Istana (Bagian 2)

Redaksi Solopos.com  /  Mediani Dyah Natalia  | SOLOPOS.com

SOLOPOS.COM - Prasetyo Atmosutidjo menunjukkan foto Ki Ageng Suryomentaram, Rabu (16/9/2015). (JIBI/Harian Jogja/Bhekti Suryani)

Ki Ageng Suryomentaram berdarah biru yang mengajarkan ilmu kawruh jiwa.

Harianjogja.com, BANTUL-Pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, putra Raja Jogja Sri Sultan Hamengku Buwono VII sampai sekarang masih lestari. Filosofi hidup Ki Ageng Suryomentaram diadopsi oleh masyarakat Dusun Balong, Timbulharjo, Sewon, Bantul. Ia adalah bangsawan yang kabur dari istana dan memilih hidup sebagai rakyat jelata.

Advertisement

Usianya belum menginjak 30 tahun. Tetapi keberaniannya bersikap memilih jalan hidup menuai takjub banyak orang. Ki Ageng Suryomentaram bukan lahir sebagai rakyat jelata, darah biru melekat di dirinya. Ia putra ke-55 Raja Kraton Jogja Sri Sultan Hamengkubuwono VII yang lahir pada 20 Mei 1892.

Ibunya bernama Bendoro Raden Ayu (BRAy) Retnomandaya, putri dari Patih Danuredjo VI, Patih Sultan HB VI dan Sultan HB VII. Nama kecilnya Bendoro Raden Mas Kudiarmaji. Menginjak 18 tahun, pangeran diberi gelar Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram.

Advertisement

Ibunya bernama Bendoro Raden Ayu (BRAy) Retnomandaya, putri dari Patih Danuredjo VI, Patih Sultan HB VI dan Sultan HB VII. Nama kecilnya Bendoro Raden Mas Kudiarmaji. Menginjak 18 tahun, pangeran diberi gelar Bendoro Pangeran Haryo (BPH) Suryomentaram.

“Ia hidup berlimpah harta, enggak bekerja tetapi harta melimpah,” tutur Prasetyo Atmosutidjo, pengajar sekolah Kawruh Jiwa di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), yang mengajarkan ilmu jiwa dari pemikiran Ki Ageng Suryomentaram, saat disambangi di rumahnya Rabu (16/9/2015) pagi.

Tidak hanya kaya, Ki Ageng Suryomentaram juga anak raja yang selalu disembah oleh para abdi dalem Kraton maupun keluarganya yang lain. Keistimewaan yang banyak didambakan orang kala itu rupanya tak membuat pangeran muda bahagia. Ia tidak puas karena merasa belum mengenal seperti apa manusia sesungguhnya yang tak selalu hidup dengan sembahan.

Advertisement

“Mereka berkeliling ke berbagai tempat belajar tentang kehidupan. Ilmu jiwa atau kawruh jiwa itu cikal bakalnya dari sana,” ungkap lelaki yang masih punya ikatan keluarga dengan Prawiro Wiworo itu.

Perenungan dan perjalanan menggali kehidupan itu semakin membuatnya tidak puas akan kemewahan dan belenggu aturan kerajaan. Sebelum 1921, Pangeran Suryomentaram akhirnya memutuskan kabur dari istana. Ia menuju daerah Kroya, Banyumas.

“Kraton geger saat itu, pangeran hilang,” tutur dia.

Advertisement

Saat raja mulai sakit-sakitan, punggawa kerajaan diperintahkan mencari BPH Suryomentaram. Para pengawal kerajaan terkejut menemukan Ki Ageng Suryomentaram bekerja sebagai kuli penggali sumur. Tubuhnya kumuh, berbaju kaus lusuh dan bercelana pendek.

Selain tukang gali sumur, ia bekerja sebagai penjual batik. Ia akhirnya pulang ke Istana menemui Sultan HB VII yang sakit. Sultan wafat pada 1921. Saat jenazah dibawa ke makam Imogiri, Ki Ageng Suryomentaram ikut memikul jenazah ayahnya. Tindakan yang tidak dilakukan oleh pangeran lain. Sepulang dari pemakaman ia memilih tidak ikut rombongan pulang ke Kraton, tetapi singgah di pasar rakyat di daerah Barongan, Jetis, Bantul untuk makan.

“Orang mengira dia gila,” ujar Prasetyo seraya tertawa.

Advertisement

Setelah Sultan HB VII wafat, pemegang takhta Kerajaan berpindah pada Sri Sultan Hamengku Buwono VIII yang juga kakak Ki Ageng Suryomentaram. Pergantian takhta ia manfaatkan untuk meminta izin melepas gelarnya sebagai pangeran.

“Karena dulu saat ayahnya masih hidup mau melepas gelar tidak dibolehkan, tapi akhirnya dizinkan oleh kakaknya,” lanjut Prasetyo.

Tak hanya melepas gelar, ia menyerahkan sebuah rumah yang menjadi haknya ke Kraton Jogja. Pemerintah kolonial Belanda kala itu menawarkan uang senilai 325 gulden per bulan, tapi pangeran menolaknya. Ia merasa tidak bekerja untuk Belanda.

Lepas dari belenggu kerajaan, pangeran yang gemar membaca buku itu bergabung dengan para sahabatnya yang juga tokoh nasional seperti mantan Presiden Soekarno dan Ki Hajar Dewantara. Ia memperdalam kawruh jiwa dan mulai bergabung dalam pergerakan nasional meraih kemerdekaan.

Advertisement
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif